Thursday, July 16, 2020

Angkringan Lebih Baik dari Burjonan. No Debat





Saya sebagai wong Jogja sudah mahfum dengan hadirnya burjonan ditengah-tengah, imperium angkringan Jogja. Menjadi penyelamat perut, para penuntut ilmu di kota pelajar ini, kala tanggal tuo. Warmindo dengan segala kemurahanya serta teteh burjonan yang aduhai itu, masih bisa membuat kita merasa kaya di saat bokek-bokeknya. Tetapi disisi lain ada angkringan, yang juga tak kalah digdaya untuk merasai nikmatnya kemiskinan tanggal tua.

Tapi saya kurang sependapat dengan orang-orang yang makan di burjonan dengan dalih ra gableg duit. Pasalnya, burjonan yang dewasa ini sudah seperti warteg dengan segala menunya yang memang diperuntukan untuk kelas menengah. Berbeda dengan angkringan yang sedari dulu tetap pada kodratnya selalu murah dan mengenyangkan, juga bersahabat dengan kantong pelajar.
Untuk urusan kemewahan memang kalah telak dengan burjonan, tapi banyak perspektif lain yang bisa membuat angkringan jauh lebih bersahabat dan lebih baik daripada burjonan.

Dengan ini  angkringan nggir dalan lebih baik daripada burjonan, no debat.

Bagi saya warga Jogja, angkringan tetaplah menjadi sahabat baik ketika tanggal tua atau hanya 
sekedar nongkrong, sedari dulu hingga sekarang. Untuk itu saya ingin mengibarkan panji-panji imperium angkringan jogja ditengah menjamurnya burjonan di kota pelajar ini. Dan membuat gerakan angkringan garis kenyal, yang nggak kalah gayeng juga dengan isu ekspor benih lobster.

Karena saya tahu, pembaca dan netizen yang maha benar mempunyai pengaruh untuk gerakan ini maka saya akan mempersuasi orang-orang untuk lebih menyukai angkringan daripada burjonan. Agar argumen saya nggak kayak janji wakil rakyat doang, saya akan menjelaskan dimana letak angkringan yang lebih baik daripada burjonan.

Pertama, jelas saja urusan harga. Setelah membandingkan dan juga mengobservasi banyak angkringan dan burjonan saya bisa mengambil kesimpulan bahwa angkringan lebih aman dikantong. Karena memang untuk urusan perduitan duniawi kita dituntut nggak bisa membohongi diri sendiri. Bayangkan saja bermodal Rp8 ribu, kita sudah kenyang dan bisa tidur nyenyak. 
Dengan menu : sego kucing @2 ribu (1) + es teh @2 ribu (1) + sate ndog gemak @1ribu (1) + gorengan all variant @500,- (2) + ngecer surya @2 ribu (1) total :Rp8 ribu. Satu kata , Wow!

Urat nadi  kemiskinan tak akan terasa sembari menghayati saripati kehidupan tanggal tua.

Kedua, es teh.  Angkringan punya gaya klasik dan ciri khas tersendiri dalam menyajikan teh. Teh angkringan, terutama es tehnya itu  Manisnya pas, sepetnya pas, segernya juga pas, kata mas Iqbal AR dalam tulisanya (link). Banyak juga yang bilang kalau es teh angkringan ini rasanya istimewa. Padahal pembuatanya sama dengan teh lain pada umumnya. Rasanya itu benar-benar es teh, bukan es air gula rasa teh. Cara memesanya pun cukup simple hanya dengan acungan jari telunjuk dan bilang “es teh, lik!” segelas minuman surgawi hadir tepat didepan anda.

Ketiga, pernah nggak sih kalian makan nasi telur burjo dan langsung  kenyang, tentunya tidak. Ada hasrat pengen nambah lagi tapi, malu sama teteh burjonya yang juga masih aduhai itu. Berbeda dengan sega kucing yang kalo ilang karet e,ambyar itu.
Aneh bin ajaib memang, saat saya makan 2 bungkus nasi kucing dan 2 mendoan, langsung kenyang, padahal itu berporsi kecil berbeda dengan nasi telur yang porsi besar.Ukuran dan porsi sega kucing seolah sudah diatur sedemikian rupa oleh bakul e, jika beli satu akan kurang namun bila membeli 2 akan kewaregen. Entah ini mistis atau realistis, silahkan para cocokologi waktu dan tempat saya persilahkan.

Keempat, lain halnya burjonan, angkringan memiliki tempat yang sederhana dan jauh dari kata mewah. Biasanya angkringan memiliki lapak di pinggir jalan, identik dengan gerobak dorongnya yang diam ditutupi terpal berwarna biru dan lampu petromak atau bohlam kuning kecil, remang-remang.

Tapi jangan salah ditempat yang sederhana seperti ini bisa terjalin hubungan silaturahmi yang sangat tinggi. Tak jarang obrolan di angkringan melebihi acara ILC di TV Wan. User interface dengan sang bakul dan pembeli lain menjadi nilai lebih yang tak ditemui di tempat lain. Segala macam perbincangan  dan pemikiran ada disini, mulai curhat keluarga, politik, isu nasional hingga ngrasani tanggane sik ngedunke motor anyar selalu menarik didengarkan dari sudut angkringan.

Dan juga tak ada gondes wingi sore yang nggrombol main EmEL.

Kelima, romantis. Kenapa saya bilang romantis? Yah.. karena Jogja itu tercipta dari Rindu, Pulang dan Burjonan  Angkringan. Ada cinta di setiap bungkus nasi kucing angkringan. Ada kerinduan dalam Kopi Joss Lek Man yang membuatku selalu nyaman, duduk berlesehan bersamamu. Kamu, iya kamu.

Angkringan juga mengajarkan bagaimana romantis itu nggak selamanya mahal dan mewah, duduk lesehan di pinggir jalan bersama mbak bojo, melihat orang berlalu lalang, itu semua hal yang bikin makan di angkringan ini lebih romantis daripada di strekbak. Pokoknya itu semua rutinitas angkringan yang sederhana namun tak terlupakan. Entah bersama teman, keluarga, atau mbak mantan. Duh dek.

Kalo di burjonan gimana bisa romantis, kalo isinya gondes wingi sore sak gerombolan e main EmEL. Pas mau romantis-romantisan sama mbak bojo “Cantik yaa.. Pint.. ya..” tiba-tiba  dari tempat duduk sebelahmu misuh “Buajilak, alucard e goblok!” kan nggak jadi romantis.

Gimana, masih mau bilang Angkringan itu nggak asik buat nongkrong atau mending makan di burjo daripada angkringan pas tanggal tua? Saya nggak mau tahu pokoknya angkringan menang telak dari burjonan dan harus dinyatakan sebagai juara. No debat.

Salam,

Ekstremis Angkringan.


No comments:

Post a Comment