Saya sebagai wong Jogja sudah mahfum dengan hadirnya burjonan ditengah-tengah, imperium angkringan Jogja. Menjadi penyelamat perut, para penuntut ilmu di kota pelajar ini, kala tanggal tuo. Warmindo dengan segala kemurahanya serta teteh burjonan yang aduhai itu, masih bisa membuat kita merasa kaya di saat bokek-bokeknya. Tetapi disisi lain ada angkringan, yang juga tak kalah digdaya untuk merasai nikmatnya kemiskinan tanggal tua.
Tapi saya kurang sependapat dengan orang-orang yang makan di
burjonan dengan dalih ra gableg duit. Pasalnya,
burjonan yang dewasa ini sudah seperti warteg dengan segala menunya yang memang
diperuntukan untuk kelas menengah. Berbeda dengan angkringan yang sedari dulu
tetap pada kodratnya selalu murah dan mengenyangkan, juga bersahabat dengan
kantong pelajar.
Untuk urusan kemewahan memang kalah telak dengan burjonan,
tapi banyak perspektif lain yang bisa membuat angkringan jauh lebih bersahabat
dan lebih baik daripada burjonan.
Dengan ini angkringan
nggir dalan lebih baik daripada
burjonan, no debat.
Bagi saya warga Jogja, angkringan tetaplah menjadi sahabat
baik ketika tanggal tua atau hanya
sekedar nongkrong, sedari dulu hingga
sekarang. Untuk itu saya ingin mengibarkan panji-panji imperium angkringan
jogja ditengah menjamurnya burjonan di kota pelajar ini. Dan membuat gerakan
angkringan garis kenyal, yang nggak kalah gayeng juga dengan isu ekspor benih
lobster.
Karena saya tahu, pembaca dan
netizen yang maha benar mempunyai pengaruh untuk gerakan ini maka saya akan mempersuasi
orang-orang untuk lebih menyukai angkringan daripada burjonan. Agar argumen
saya nggak kayak janji wakil rakyat doang, saya akan menjelaskan dimana letak
angkringan yang lebih baik daripada burjonan.
Pertama, jelas
saja urusan harga. Setelah membandingkan dan juga mengobservasi banyak angkringan
dan burjonan saya bisa mengambil kesimpulan bahwa angkringan lebih aman
dikantong. Karena memang untuk urusan perduitan duniawi kita dituntut nggak
bisa membohongi diri sendiri. Bayangkan saja bermodal Rp8 ribu, kita sudah kenyang
dan bisa tidur nyenyak.
Dengan menu : sego kucing @2 ribu (1) + es teh @2 ribu
(1) + sate ndog gemak @1ribu (1) + gorengan all
variant @500,- (2) + ngecer surya @2 ribu (1) total :Rp8 ribu. Satu kata ,
Wow!
Urat nadi kemiskinan tak
akan terasa sembari menghayati saripati kehidupan tanggal tua.
Kedua, es teh. Angkringan
punya gaya klasik dan ciri khas tersendiri dalam menyajikan teh. Teh angkringan,
terutama es tehnya itu Manisnya pas, sepetnya pas, segernya juga pas, kata
mas Iqbal AR dalam tulisanya (link). Banyak juga yang bilang kalau es teh
angkringan ini rasanya istimewa. Padahal pembuatanya sama dengan teh lain pada
umumnya. Rasanya itu benar-benar es teh, bukan es air gula rasa teh. Cara memesanya
pun cukup simple hanya dengan acungan jari telunjuk dan bilang “es teh, lik!”
segelas minuman surgawi hadir tepat didepan anda.
Ketiga, pernah
nggak sih kalian makan nasi telur burjo dan langsung kenyang, tentunya tidak. Ada hasrat pengen
nambah lagi tapi, malu sama teteh burjonya yang juga masih aduhai itu. Berbeda dengan
sega kucing yang kalo ilang karet e,ambyar itu.
Aneh bin ajaib memang, saat saya makan 2 bungkus nasi kucing
dan 2 mendoan, langsung kenyang, padahal itu berporsi kecil berbeda dengan nasi
telur yang porsi besar.Ukuran dan porsi sega kucing seolah sudah diatur
sedemikian rupa oleh bakul e, jika beli satu akan kurang namun bila membeli 2
akan kewaregen. Entah ini mistis atau
realistis, silahkan para cocokologi waktu dan tempat saya persilahkan.
Keempat, lain
halnya burjonan, angkringan memiliki tempat yang sederhana dan jauh dari kata
mewah. Biasanya angkringan memiliki lapak di pinggir jalan, identik dengan
gerobak dorongnya yang diam ditutupi terpal berwarna biru dan lampu petromak atau
bohlam kuning kecil, remang-remang.
Tapi jangan salah ditempat yang sederhana seperti ini bisa terjalin
hubungan silaturahmi yang sangat tinggi. Tak jarang obrolan di angkringan
melebihi acara ILC di TV Wan. User interface
dengan sang bakul dan pembeli lain menjadi nilai lebih yang tak ditemui di
tempat lain. Segala macam perbincangan dan pemikiran ada disini, mulai curhat
keluarga, politik, isu nasional hingga ngrasani
tanggane sik ngedunke motor anyar selalu menarik didengarkan dari sudut
angkringan.
Dan juga tak ada gondes wingi sore yang nggrombol main EmEL.
Kelima, romantis.
Kenapa saya bilang romantis? Yah.. karena Jogja itu tercipta dari Rindu, Pulang
dan Burjonan Angkringan. Ada
cinta di setiap bungkus nasi kucing angkringan. Ada kerinduan dalam Kopi Joss
Lek Man yang membuatku selalu nyaman, duduk berlesehan bersamamu. Kamu, iya
kamu.
Angkringan juga mengajarkan bagaimana romantis itu nggak
selamanya mahal dan mewah, duduk lesehan di pinggir jalan bersama mbak bojo, melihat orang berlalu lalang, itu
semua hal yang bikin makan di angkringan ini lebih romantis daripada di strekbak.
Pokoknya itu semua rutinitas angkringan yang sederhana namun tak terlupakan. Entah
bersama teman, keluarga, atau mbak mantan. Duh dek.
Kalo di burjonan gimana bisa romantis, kalo isinya gondes
wingi sore sak gerombolan e main EmEL. Pas mau romantis-romantisan sama mbak
bojo “Cantik yaa.. Pint.. ya..” tiba-tiba dari tempat duduk sebelahmu misuh “Buajilak, alucard
e goblok!” kan nggak jadi romantis.
Gimana, masih mau bilang Angkringan itu nggak asik buat
nongkrong atau mending makan di burjo daripada angkringan pas tanggal tua? Saya nggak mau tahu pokoknya angkringan menang telak dari
burjonan dan harus dinyatakan sebagai juara. No debat.
Salam,
Ekstremis Angkringan.
No comments:
Post a Comment