Sunday, May 31, 2020

I quit Instagram, for..


Selamat malam semuanya,

*cek instastory

*scroll...

*scroll..

*tap.. tap..

*scroll..

*balik ke home.

Rutinitas jari2 kecil kita tiap waktu, rutinitas mata melihat sesuatu yang baru. Tiap waktu, tiap hari, tanpa mengenal satuan waktu apapun. Sudah menjadi habit di otak kita, kegatelan jari2 kita dan mata kita terus mencari dan mencari sesuatu namun hanya sebuah bias dan hampa. Tiap waktu sekali waktu kosong sedikit saja, otak kita mendorong untuk membuka smartphone lalu membuka aplikasi itu.

Instagram, aplikasi berbasis foto dan video. Di dalamnya kita dapat mengunggah foto/video kita juga dapat melihat foto dan video dari teman lainnya. Salah satu social media terbesar dan menjadi trend dewasa ini. Semua berlomba2 mempunyai instagram dan memposting foto sesuatu tentang diri sendiri, mulai dari cuplikan video kegiatan harian, foto moment2 penting, foto2 makanan, dll.

Yang sebenarnya hanya untuk pelepas dahaga kebatinan saja.  Jika ditanya secara spesifik untuk apa bermain instagram, kemungkinan jawabanya kurang mengena dan tidak rasional. Hanya kesenangan hampa dan palsu. Lalu semuanya terbuai dalam bias tersebut hingga seseorang menjadi tidak produktif.

Kalian pasti pernah, semisal sedang mengerjakan sesuatu lalu tangan atau pikiran ini gatal untuk membuka handphone kalian yang ditaruh disamping atau disaku, umumnya karena notifikasi pesan masuk lalu layar menyala dan kalian menengoknya. Setelah, menyelesaikan urusan pesan singkat tersebut, pikiran dan tangan kalian pasti gatal dan tertuju pada sebuah aplikasi, bisa instagram, bisa lainnya— kalau saya sih seringnya instagram. Lalu malah asyik dg tampilan dan sajian2 di dalamnya, lupa dg pekerjaan yg sedang dikerjakan dan menundanya. Sering sekali.

Atau,

Mengisi waktu kosong  seperti menunggu antrean, menanti bus, diam dirumah tak ada kerjaan atau istilah jaman sekarang gabut  dg hanya scroll instagram tanpa henti dan dalam waktu lama. Padahal kalian bisa habiskan waktu tersebut dg hal2 yg produktif. Seperti, membaca buku,menulis, ngobrol dg orang disekitar kita, menikmati waktu, bercengkrama dg keluarga. Tanpa harus menengok hal2 yg dikira penting dalam aplikasi tersebut padahal hanya sesuatu yg biasa saja.

Kehidupan menjadi terhenti sejenak, menuruti nafsu mata dan tangan. Padahal bisa saja kita tidak membuka aplikasi tersebut dan melanjutkan hidup. Menyelesaikan pekerjaan yg ada tanpa adanya keterikatan dg hal2 yg semu.

Sulit untuk mengurangi hal tersebut yg sudah masuk menjadi habit, satu2nya cara yaitu menghentikan kebiasaan tersebut, dg menghapus aplikasinya.

Kemarin setelah melihat video psikologi dari chanel youtubenya Mat D'Avella tentang "I quit social media for 30 days"  saya mencoba menerapkanya dalam kehidupan saya, agar menjadi pribadi yang lebih produktif. Mencoba perlahan2  dg menghapus Instagram dari halaman depan ponsel saya*tanpa ragu2.

Pertama2 pasti akan muncul berbagai pertanyaan dan penolakan, tapi lakukanlah dg spontan  jgn hiraukan perasaan anda.

“ehh, tapi kalo gue kelewatan sesuatu gimana?”

Pertanyaan yg menurut saya umum muncul saat pertama tama. Memang, anda akan terasa kelewatan banyak hal tapi sebenarnya itu palsu dan semu. Anda tidak terlewatkan banyak hal. Anda hanya terlambat mengetahui, dan itu tidak salah. Perasaan itu akan muncul dan terasa sangat menyiksa, tapi yakinlah bahwa sebenarnya tidak ada yg salah, hanya gejolak pada hal yang semu saja.
Tak ada alasan yang kuat untuk  terus bermain instagram kecuali untuk bekerja, dan tidak ada salahnya untuk berhenti dari instagram.

Setelah itu anda akan akan terbebas dari banyak hal, waktu yg lebih dapat dimanfaatkan menjadi hal produktif lainnya. Anda mulai tidak hedon dan konsumtif karena lapar mata anda sudah diputus. 
Anda bisa lebih menjadi diri anda sendiri, terbebas dari segala tekanan dan pengaruh social media, dari teman2 anda yg mengunggah hal seru, atau barang2 mewah yang membuat dompet menipis.

Setelah menyelesaikan pesan singkat dg kolega, anda bisa langsung melanjutkan apa yg sedang anda kerjakan atau menjalani hari di dunia nyata tanpa adanya pengaruh social media lainnya.

Mungkin ini menjadi langkah awal saya juga, mengurangi social media yg semakin lama semakin tidak karuan. Tak jelas arahnya kemana. Berisi toxic dan berita palsu. Menjadi produktif dan lebih kreatif hidup dg dunia nyata, menghidupkan nilai2 dan kembali menjadi manusia sosial sepenuhnya.


                                                       thx, and see you next time!

Monday, May 25, 2020

Kehidupan Hari Raya


Lebaran tiba, kemarin satu syawal 1441H. Idul fitri adalah lebaran yang juga berarti hari raya umat islam setelah berpuasa selama sebulan. Lebaran kali ini mungkin sangat berbeda dengan beberapa tahun kebelakang dan ini menjadi sejarah baru lebaran tersepi dan ternglangut dalam hidup saya, bahkan mungkin di hidup kalian semuanya.

Beberapa hari sebelum idul fitri, biasanya orang2 yang ditanah rantau pulang kampung atau mudik, ehh.. tapi saya gatau mana yang benar. Pulang kampung atau mudik? Bikin bingung saja. Biasanya seminggu atau beberapa hari mereka sudah menjadwalkan cuti atau memang sudah ada jatah libur. Lalu pulang ke rumah orang tua di daerah.

Jalan2 nasional dan protokol penuh dipadati kendaraan. Stasiun padat. Bandara berjejal. Terminal bis bekerja maksimal. Pelabuhan silih berganti menyebrangkan orang. Sebegitu riuh dan sebegitu heboh menjelang lebaran.

Malam sebelum idul fitri, biasanya ada takbir keliling. Kampung saya biasanya ikut dan berpartisipasi dalam lomba takbiran yg diadakan. Kemeriahan dan keseruanya nggak semalam itu saja, tapi malam2 sebelumnya juga seru dan riuh mempersiapkan kebutuhan lomba. Berkumpul, gotong royong, membentuk sebuah harmoni kedaerahan jauh dari nafas urban.

Setelah seminggu atau lebih persiapan, malam itu semua siap. Musik dan suara2 takbir digemakan semua bersemangat tak ubahnya genderang perang dibunyikan. Diniatkan untuk syiar dan dakwah. Kostum, maskot, dan koreografi nan indah ditujukan untuk memeriahkan. Setiap masjid kampung semua melakukan hal serupa.

Pagi hari Idul fitri, karena semalaman begadang dan kecapean takbir keliling biasanya para muda seperti saya susah bangun. Bangun untuk shalat id berjamaah di lapangan. Saya dan kedua mas saya biasanya dibangunkan oleh bapak dan ibu, yah.. walaupun ada sedikit cek-cok menghiasi pagi hari yg fitri itu.

Shalat id, di lapangan bersama ribuan orang lainya, ribuan jamaah, ribuan umat islam, dg terus melantunkan takbir, ramai namun menenangkan hati setiap jiwa. Hingga imam menyeru “allauakbar” sebanyak 7 kali, semua diam, khusyu’, hidup dalam diam.

Siang idul fitri, semua keluarga berkumpul entah yg dari perantauan, daerah lain, luar angkasa  negeri atau bahkan daerah konflik. Semua berkumpul  dan bermaaf-maafan menjadi satu dalam suasana haru biru. Sungkeman ditemani suguhan2 kecil membuat lengkap suasana siang itu. 

dan satu lagi tradisi, ujung.
 
Ujung dalam Bahasa Jawa memiliki arti mengunjungi orangtua, keluarga, kerabat, tetangga dan orang-orang yang dihormati lainnya, saling bersalaman, meminta maaf dan memohon doa kebaikan. Tradisi ini memang selalu menjadi momen ditunggu2 terutama bagi para orang tua yg hari2nya sudah mulai kelabu.  Sanak saudara yg datang memberi warna pada hari yang fitri itu. Tak jarang juga tangis pecah, entah karena kerinduan atau keharuan. Hari2 penuh doa dan mendoakan.

Malam idul fitri, seringkali masih ramai. Apalagi dirumah sanak saudara paling tua atau dituakan, seharian itu rumah seperti toko yang silih berganti orang berdatangan. Dan juga makanan2 khas yg itu2 aja tapi selalu bikin kangen.  Seperti opor, rendang, ketupat, tape, emping, bakso.  

Pundi2 uang pun menebal bagi anak2, tawa riang dan senyum manisnya membuat siapapun memberi sedikit rejekinya untuk anak tersebut. 

Itu mungkin rutinitas lebaran, tapi tahun ini mungkin banyak rencana yg pupus. Ditengah kerinduan masal berkumpul dan bermaafan. Lewat layar kaca menyapa keluarga, hidup dalam kedekatan emosional.  

Jarak memang memisahkan tapi ruang dan waktu tak jadi penghalang, untuk maaf yang tulus. 

Tahun ini memang tak seperti tahun2 sebelumnya, karena kehendak alam tak bisa dilawan. Tapi, tuhan memang adil tetap memberi kenikmatan di keterbatasan. Diperantauan mengadu sendu dari kejauhan di kesendirian.Raga masih disini namun hati terkait dalam kerinduan.

Semoga semuanya lekas membaik.
Minal aidzin walfaidzin. Mohon maaf lahirbatin.

Thx u till u next time.

 




Saturday, May 23, 2020

Tentang Toleransi


Malem takbiran, semua orang menyambut dg sukacita. Ada yang sukacita karena meraih kemenangan, ada yang sukacita karena terbebas dari puasa.. memang ada dua tipikal manusia menurut saya. Kalo saya bingung mau sedih atau seneng*hmm labil..

Malem ini karena keganasan wabah, terpaksa untuk pertama kalinya malam takbiran saya tak dihiasai oleh gegap gempita takbir keliling. Cuma saya isi dg kumpul dg beberapa teman saya, itupun hanya beberapa saat tapi saya memaknainya. Nggak ada acara besar, kampung saya terasa sepi, ngungun, dan nglangut.

Saya sendiri bisa dibilang jarang punya temen yang soul di kampung, saya kurang bisa berbaur dg mereka disamping itu saya jg punya bapak yang sensitif kalo saya ngumpul di kampung gajelas sampe malem. Disitu saya kadang merasa sedih.

Malem ini, selepas acara bakar2 dirumah mbak Keken, dg 6 orang lainnya mereka pulang lalu saya menghubungi teman saya Litan.. dia adalah penganut agama Non-Is bisa dibilang. Saya wassap dia dan dibalas. Meminta untuk sekedar menemani saya dimalam nglangut ini untuk ngobrol. Setelah menunggu saya di jemput dg motor vario 150 miliknya.. berangkatlah, ngeenggg!!

Berputar2 mencari angkringan dan burjonan yang sepi, sesaat saya nemu tempat yang pas. Di pinggir lapangan luas dihadapan langit cerah dan kerlip bintang. Mulailah perbincangan ngalor ngidul saya, dikelilingi suara takbir yang menggema begitu menyentuh relung hati saya.

Poinya disini.

Menurut saya ini merupakan salah satu kerukunan umat beragama dalam lingkup paling kecil. Dia menghargai saya, dengan ikut merayakan hari raya tanpa merasakan. Bersatu dalam lingkup kecil pertemanan, saling berbagi ruang dan waktu. Tanpa terganggu dengan suara takbir dan hal2 lain menyangkut malam takbiran.

Ditemani kopi hitam dan rokok kretek, perbincangan menjadi semakin hangat dan indah. Keindahan bisa tercipta.

Bayangkan.. bila semua umat beragama bisa seperti itu. Bisa tak ada isu natal, tak ada pembantaian umat minor, dan isu2 intoleran umat beragama. Hidup berdampingan. Menciptakan keindahan, momentum anugerah hidup tertinggi dalam berdampingan hidup beragama. Semua hidup dalam keharmonian. Disitu saya mulai mikir, kalau semua umat beragama bisa seperti ini. Dunia pasti damai.

Apalah arti beragama bila tak menjalin toleransi dan keindahan satu sama lain. Agama adalah keyakinan, kebenaranya terletak pada relung tiap insan manusianya bukan beterbangan di udara. Bila keyakinan akan kebenaran tersebut kita simpan baik2 dalam akal dan pikiran kita intoleransi umat beragama mungkin tak ada.

Dunia ini penuh kegelapan dan agama adalah lampu pijar yg menerangi di kegelapan. Satu lampu pijar akan terang tapi bagaimana dg banyak lampu pijar dihidupkan menjadi satu, pasti akan menyala2 tanpa menyisakan sedikit pun kegelapan. Memberi warna dan harmoni.

Tak ada benar atau salah, jika semua bisa menerima setiap keadaan dengan keindahan, harmoni, dan apa adanya. Benar atau salah hanya opini disimpan baik2 dalam brankas diri. Yg terpenting ialah kebenaran diri bukan pembenaran atas orang lain. Karena setiap diri punya kebenaran masing2.

Teman saya ini termasuk sinar,  menerima dan menemani saya, menerima keadaan hari raya, dan menghormati secaraa penuh atas saya. Sebuah bentuk keindahan dunia. Hanya saja semua ada batas2nya dan saya saling memahami atas batas2 tersbut. Menjaga harmoni agar tetap berjalan, agar dunia perlahan bisa bebas dari isu permasalahan dan intoleransi beragama.

Menjadi impian.

Friday, May 22, 2020

dibangunin sama Tuhan


Semalaman saya nggak tidur, kantung mata hidup di langit2 wajah. Padahal jam delapan pagi harus sudah stand bye di posko penerimaan zakat fitrah. Nggak tau sih ngapain aja semalaman, serasa baru duduk lima menit, tetiba sudah pagi.

Selesai shalat subuh, dingin. Hawa yang cocok buat merem. Niatnya sih hanya rebahan sambil nunggu jam tujuh, tapi mata nggak bisa berkompromi lagi.


5 menit, nggak butuh waktu lama saya udah sampai mana nggak tau. Eitt.. tp sebelum injury time sebelum merem saya berdoa dalem hati—

“ya allah.. jika engkau tidurkan aku jam segini gimana kalo saya nggak bangun pas zakat nanti.. bisa2 saya diomelin warga sekampung, tapi ya allah.. kalo saya nggak tidur, ini udh tinggal 5 watt. Mau minum kopi, udah puasa ya allah.. yaudah deh ya allah, bangunin sayaa jam setengah delapan deh..” – amiin.  Merem.

Saya mencoba berkompromi dengan allah untuk ngebangunin saya*jadi alarm, karena kebutuhan yang sangat mendesak. Kebetulan saya dirumah sendirian*nggak ada yg bangunin  jadi saya nekat gt. Saya benar2 tidur.

 Hoammm..,, Zzzz.. zzz.. zzzz.. (anggep aja tidur)

7:39
Pagi saya tergagap dan terbangun, liat hape udah jam segitu. Saya terkejut, takjub, dan nggak nyangka saya bisa bangun jam segitu. Prestasi terbesar pikirku. Terperanjat dan langsung mandi. Pas mandi saya masih nggak nyangka bisa bangun  jam segitu, baru tidur satu sampai satu setengah jam-an. Dan nggak ada yg bangunin, saya masih heran.

Paradoks. Keajaiban pikirku*terlalu lebai. Saya jadi punya kesimpulan, bahwasanya bila dalam keadaaan mendesak dan tak ada pilihan kita*manusia, dituntut untuk tetap punya pilihan, yaitu tetap berusaha dan berdoa. Urusan hasilnya bagaimana atau prosesnya bagaimana yahh.. pasrahkan saja padanya.

Jadi saya tetap berusaha buat tanggung jawab dengan waktu dan berdoa, alhasil saya bisa bangun tepat waktu.  Gusti allah paling kasihan sama saya, karena saya melas dan mohon2.. jadinya ya dibangunin :D.

Boleh anda praktekin ini.. teori pekok-pekokan dari saya, tp kalo krinan ato kesiangan ya jgn salahin teori ini.




                                                             Thx, till u next time 

no place like hope!

Hari hari akhir ramadhan kian terasa, waktu bergulir sangat cepat. Siang 28 Ramadhan hari Jumat, saya tulis tulisan ini sambil dengerin lagunya mas Opick*makin sedih.

Beberapa hari terakhir jadi pekerja sosial, jadi pelayan umat, pelayan masyarakat bersama teman2 saya, para muda kampung. Dikampung memang harus seperti itu, hidup dan menghidupi, hidup berdampingan

Saya bingung, hati saya gundah, sesuatu yg masygul mengganjal lubuk hati saya. Virus makin merongrong.. penambahan jumlah korbannya kian melejit tak terbendung, membuat hati ini miris. Masyarakat Indonesia memang ngeyel.

Idul fitri tinggal dua hari, dan masih dalam pandemi yang nggak jelas kapan kelarnya.
saya udah lelah, bingung. Itu saya gak tau klo kalian? gak tau kalo paramedis? bayang2 ketakutan kian mendera seirama pertumbuhan korban.

besok nggak ada salaman, besok nggak ada shalat idul fitri, besok nggak mudik, besok.. semua di hentikan, besok semua dilarang.. ahh manusia, kian hidup terbalik. Besok.. besok.. besok.. ah males mikirin besok.. ngak jelas! bayanganya aja ga keliatan.
'besok' itu seperti fiksi,delusi, dan fantasi sekarang ini.
Bagaimana kalo nggak ada besok, kalau sudah pasti esok ya begitu begitu saja.. tak ada berita gembira, tak ada harapan.

Harapan itu seperti nyala lilin, makin lama makin habis dan padam. Mungkin saat ini harapan masyarakat negri ini sudah mulai meleleh. Negeri ini membakar nyala lilin harapan bangsanya sendiri, yang makin lama makin panas.. meleleh.. lalu habis tak tersisa.

no place like hope!
Dengan harapan semua terlihat indah, meyakinkan, ada semangat, gairah untuk hidup yang lebih. Tapi tak lagi tersisa semuanya, kini tinggal menunggu kisah2 suram negeriku, kisah suram diujung mimpi, karena lilin harapan telah padam, tak ada yang menggantikan harapan..
               

                                                          Tak ada tempat seperti harapan.