Sunday, February 14, 2021

kopi wis entek, dan udud gari siji

 

Entah bagaimana saya bisa menghabiskan hampir 3bulan di dalam rumah saja. Hanya saya dan seruangan 2x3meter persegi. Saya sendiri bingung.

Banyak tulisan mengendap di dalam laptop ini. Banyak ide2 mengendap di kepala ini. Juga banyak sekali deposit mimpi2 didepan sana.

Sejenak.. saya membuka laptop, lalu

Menghela nafas.. merasakan bau apek bantal guling saya, sambil menutup mata.

Lampu remang-remang. Bau kopi panas bercampur dengan bau tanah diluar karena memang hujan angin mobat mabit. Di sudut ruangan lain celoteh penyiar mengudara, playlist kala itu yang asik menemani sore saya. 

sungguh sore yang, muashoook buat galau.

Setelah saya membuka arsip2 di dalam laptop ini, penuh dengan tulisan2 ngambang. Yang saya sendiri bingung harus menyelesaikanya secara kekeluargaan atau secara adat ? Menjelajah ke seluruh arsip tulisan yang lucu bikin gemes, mengingat masa2 dulu nulis itu wangun sekali tapi kalau dibaca lagi 2-3tahun kemudian, blas ra mashokkk.

Saya sebenarnya gatau bagaimana patokan tulisan bagus atau enggak itu bagaimana, saya ndak faham. Karena saya nulis ya nulis saja. Asal saya bisa menginterpretasi semua isi pikiran saya ini ke bentuk tulisan, itu sudah prestasi buat saya. Saya raduongg dengan tips2 yg di berikan penulis2 terkenal, juga saya ga pernah baca literatur tentang menulis yg baik dan benar, blass.

Tapi saya selalu takjub gimana penulis2 terkenal itu bisa mengubah sebuah tulisan hitam diatas putih saja, bisa menghipnotis pembaca. Mereka tidak hanya mengeluarkan isi kepala namun juga daging, kadang2 isi perut, isi dompet, dituliskan secara manis.

Gumun? Memang saya selalu gumun dengan penulis2 idola saya, apalagi dengan gaya bahasa campuran jawa/jogja gentho. Selain itu mereka bisa mengubah sebuah objek kecil menjadi cerita yang asik untuk dibaca dan dinikmati ketika sore hari bersama kopi dan gedang goreng.

Saya tutup laptop ini, tulisan ini belum selesai..

Beberapa waktu saya tinggal, tidur.. makan.. dan hidup..

Menikmati hari2 kosong.

Hingga kopi panas tersaji lagi, saya masih bingung tulisan ini mau mengarah kemana. Dengan stagnansi korona masih merongrong negeri ini. Yang katanya pemerintah bisa megendalikan pandemi ini dengan baik, tapi kasunyatanya..,  Juga prahara awal tahun 2021 marai tambah nggrantes neng ati.

Memang mumet kalau mikirin semua masalah besar di dunia ini. Mikirin isu ini belum selesai, selang beberapa hari isu lain muncul. Drama lagi. Nyalahin pemerintah lagi. Kecewa sama konstelasinya, buat sesuatu lalu upload ke media sosial, viral. Ketangkep nangis.. ampun2.

Lucunya kehidupan ini nggak melulu soal hal besar negara atau perang dagang china dan amerika.

Ada tentang mubeng ringroad. Minum kopi hingga fajar, gojek karo kancane. Mbakmi ro kancane. Ndengerin wayang pake radio lawas. Muter kaset musik, musisi favorit. Tentang mikirin mantan, mikirin gimana caranya bisa balikan. Tentang masa lalu penuh canda tawa bersama kawan yang tidak tahu arah kehidupan ini akan mengalir.

Kadang masa lalu dan masa depan nggak ada korelasinya, nggak nyambung blas. Kadang dulu berat, sekarang tambah berat. Kadang senyum2 sendiri. Kadang tak semangat, naik turun pitam. Naik turun mood. Tak ada yang pasti.

Dulu bahagia, tidak menutup kemungkinan sebaliknya akan terjadi.

Tak ada yang pasti, mas. Hidup ini, nikmatin aja yang sedang dijalani. Karena dalam matematika itu ada peluang tak terhingga.

“sante wae mas.. nggak usah serius2, mung urip we kok le” kataku ke kancaku. Dia mengernyitkan dahi, bukan karena kebingungan.

Namun kepeseng yang sudah kepentut-pentut mendengar apa yang saya katakan barusan. Saya ditinggal bali. Dengan kopi wis entek, dan udud gari siji(udu parikan).

 

 

 

 

Thursday, July 16, 2020

Angkringan Lebih Baik dari Burjonan. No Debat





Saya sebagai wong Jogja sudah mahfum dengan hadirnya burjonan ditengah-tengah, imperium angkringan Jogja. Menjadi penyelamat perut, para penuntut ilmu di kota pelajar ini, kala tanggal tuo. Warmindo dengan segala kemurahanya serta teteh burjonan yang aduhai itu, masih bisa membuat kita merasa kaya di saat bokek-bokeknya. Tetapi disisi lain ada angkringan, yang juga tak kalah digdaya untuk merasai nikmatnya kemiskinan tanggal tua.

Tapi saya kurang sependapat dengan orang-orang yang makan di burjonan dengan dalih ra gableg duit. Pasalnya, burjonan yang dewasa ini sudah seperti warteg dengan segala menunya yang memang diperuntukan untuk kelas menengah. Berbeda dengan angkringan yang sedari dulu tetap pada kodratnya selalu murah dan mengenyangkan, juga bersahabat dengan kantong pelajar.
Untuk urusan kemewahan memang kalah telak dengan burjonan, tapi banyak perspektif lain yang bisa membuat angkringan jauh lebih bersahabat dan lebih baik daripada burjonan.

Dengan ini  angkringan nggir dalan lebih baik daripada burjonan, no debat.

Bagi saya warga Jogja, angkringan tetaplah menjadi sahabat baik ketika tanggal tua atau hanya 
sekedar nongkrong, sedari dulu hingga sekarang. Untuk itu saya ingin mengibarkan panji-panji imperium angkringan jogja ditengah menjamurnya burjonan di kota pelajar ini. Dan membuat gerakan angkringan garis kenyal, yang nggak kalah gayeng juga dengan isu ekspor benih lobster.

Karena saya tahu, pembaca dan netizen yang maha benar mempunyai pengaruh untuk gerakan ini maka saya akan mempersuasi orang-orang untuk lebih menyukai angkringan daripada burjonan. Agar argumen saya nggak kayak janji wakil rakyat doang, saya akan menjelaskan dimana letak angkringan yang lebih baik daripada burjonan.

Pertama, jelas saja urusan harga. Setelah membandingkan dan juga mengobservasi banyak angkringan dan burjonan saya bisa mengambil kesimpulan bahwa angkringan lebih aman dikantong. Karena memang untuk urusan perduitan duniawi kita dituntut nggak bisa membohongi diri sendiri. Bayangkan saja bermodal Rp8 ribu, kita sudah kenyang dan bisa tidur nyenyak. 
Dengan menu : sego kucing @2 ribu (1) + es teh @2 ribu (1) + sate ndog gemak @1ribu (1) + gorengan all variant @500,- (2) + ngecer surya @2 ribu (1) total :Rp8 ribu. Satu kata , Wow!

Urat nadi  kemiskinan tak akan terasa sembari menghayati saripati kehidupan tanggal tua.

Kedua, es teh.  Angkringan punya gaya klasik dan ciri khas tersendiri dalam menyajikan teh. Teh angkringan, terutama es tehnya itu  Manisnya pas, sepetnya pas, segernya juga pas, kata mas Iqbal AR dalam tulisanya (link). Banyak juga yang bilang kalau es teh angkringan ini rasanya istimewa. Padahal pembuatanya sama dengan teh lain pada umumnya. Rasanya itu benar-benar es teh, bukan es air gula rasa teh. Cara memesanya pun cukup simple hanya dengan acungan jari telunjuk dan bilang “es teh, lik!” segelas minuman surgawi hadir tepat didepan anda.

Ketiga, pernah nggak sih kalian makan nasi telur burjo dan langsung  kenyang, tentunya tidak. Ada hasrat pengen nambah lagi tapi, malu sama teteh burjonya yang juga masih aduhai itu. Berbeda dengan sega kucing yang kalo ilang karet e,ambyar itu.
Aneh bin ajaib memang, saat saya makan 2 bungkus nasi kucing dan 2 mendoan, langsung kenyang, padahal itu berporsi kecil berbeda dengan nasi telur yang porsi besar.Ukuran dan porsi sega kucing seolah sudah diatur sedemikian rupa oleh bakul e, jika beli satu akan kurang namun bila membeli 2 akan kewaregen. Entah ini mistis atau realistis, silahkan para cocokologi waktu dan tempat saya persilahkan.

Keempat, lain halnya burjonan, angkringan memiliki tempat yang sederhana dan jauh dari kata mewah. Biasanya angkringan memiliki lapak di pinggir jalan, identik dengan gerobak dorongnya yang diam ditutupi terpal berwarna biru dan lampu petromak atau bohlam kuning kecil, remang-remang.

Tapi jangan salah ditempat yang sederhana seperti ini bisa terjalin hubungan silaturahmi yang sangat tinggi. Tak jarang obrolan di angkringan melebihi acara ILC di TV Wan. User interface dengan sang bakul dan pembeli lain menjadi nilai lebih yang tak ditemui di tempat lain. Segala macam perbincangan  dan pemikiran ada disini, mulai curhat keluarga, politik, isu nasional hingga ngrasani tanggane sik ngedunke motor anyar selalu menarik didengarkan dari sudut angkringan.

Dan juga tak ada gondes wingi sore yang nggrombol main EmEL.

Kelima, romantis. Kenapa saya bilang romantis? Yah.. karena Jogja itu tercipta dari Rindu, Pulang dan Burjonan  Angkringan. Ada cinta di setiap bungkus nasi kucing angkringan. Ada kerinduan dalam Kopi Joss Lek Man yang membuatku selalu nyaman, duduk berlesehan bersamamu. Kamu, iya kamu.

Angkringan juga mengajarkan bagaimana romantis itu nggak selamanya mahal dan mewah, duduk lesehan di pinggir jalan bersama mbak bojo, melihat orang berlalu lalang, itu semua hal yang bikin makan di angkringan ini lebih romantis daripada di strekbak. Pokoknya itu semua rutinitas angkringan yang sederhana namun tak terlupakan. Entah bersama teman, keluarga, atau mbak mantan. Duh dek.

Kalo di burjonan gimana bisa romantis, kalo isinya gondes wingi sore sak gerombolan e main EmEL. Pas mau romantis-romantisan sama mbak bojo “Cantik yaa.. Pint.. ya..” tiba-tiba  dari tempat duduk sebelahmu misuh “Buajilak, alucard e goblok!” kan nggak jadi romantis.

Gimana, masih mau bilang Angkringan itu nggak asik buat nongkrong atau mending makan di burjo daripada angkringan pas tanggal tua? Saya nggak mau tahu pokoknya angkringan menang telak dari burjonan dan harus dinyatakan sebagai juara. No debat.

Salam,

Ekstremis Angkringan.


Friday, July 10, 2020

Pengalaman Ndengerin Musik, Make Walkman. Di Era Digital


Memang saat ini ngedengerin musik paling mudah adalah make handphone atau sekedar mp3 player tinggal plug and play. Tapi pernah gak sih kalian, generasi z makai atau sekedar mengenal pemutar musik portable bernama Walkman. Karena saya penasaran dengan benda tersebut saya mencoba perangkat tersebut, sudah mulai ketinggalan zaman sih, saat ini. Tapi bodo amatlah.

Berawal dari keisengan jalan-jalan ke Pasar Senthir Jogjakarta, saya akhirnya nemu sebuah pemutar musik portable itu tadi. Walkman, memang terdengar asing bagi beberapa generasi zaman now karena memang walkman ini identik dengan generasi zaman old di tahun 80-90an, dimana itu adalah satu-satunya cara ngedengerin musik hasil sang karya sang musisi. Setelah menawar dan menimbang-nimbang keputusan, terbelilah sebuah walkman dengan harga 150 ribuan

Mulai dari situlah perjalanan dunia perkaset pitanan dan perwalkmanan saya dimulai, saya mulai kalap membeli kaset dan aksesoris-aksesoris lainnya. Terlepas dari niat awal saya yaitu iseng, saya pengen ngrasain gimana susahnya dan suka dukanya orang jaman dulu ngedengerin musik, yang tentunya nggak segampang di era digital seperti sekarang ini. Tapi malah ketagihan ngedengerin lagu-lagu pake walkman ini.

Saya pun berpindah halauan dari penikmat mp3 menjadi penikmat rilisan fisik saat ini. Walkman mengubah cara saya mendengarkan musik, sedikit mulai ada perasaan gundah gulana saat alat itu mengalami troble. Sayangnya, karena saya membeli barang yang umurnya mungkin lebih tua dari saya. Maka untuk perbandingan waras dan tidaknya lebih banyak tidaknya. Dan saya tidak kaget.

Tapi jangan salah walaupun terlihat ketinggalan zaman, ngedengerin musik pake walkman dan kaset pita punya beberapa kelebihan yang nggak bakal ditemuin di pemutar musik lain. Nah berikut, adalah rangkaian pengalaman saya, sebagai generasi z selama medengarkan musik ala jaman old ini.

Suara yang lebih enak
Suara yang dihasilkan oleh kaset pita yang diputar di walkman lebih enak didengerin daripada, format mp3. Jelas lebih enak, kaset ini hasil rekaman sang musisi langsung. Kadang emang suaranya sering tumpul dan gak jelas, tapi dengan kita ngebersihin head tapenya otomatis suara langsung  jreenggg kembali.

Juga perpaduan bass dan treblenya pas. Tidak terlalu tinggi ataupun rendah di satu sisi, ngebuat betah muter kaset ini. Apalagi kalo pas ngedengerin lagunya om Chrisye ‘Pergilah Kasih’ makin melankolis dan kadang marai kelingan mbak e,  huhuhu.. Ehh!

Boros batre
Saya nggak bisa ngebayangin gimana susahnya, wong mbiyen kalo nyetel musik pake walkman  pasti gonta ganti batre saking borosnya atau kerjaanya njemur batre yang udah abis. Karena menurut pengalaman saya make walkman ini, batre ABC yang 2 ribuan hanya bertahan beberapa lagu saja. Dulu pasti juga ngrasain gitu, lhawong jaman dulu belum ada yang namanya batre lithium. Baru dengerin merdunya suaranya mas duta tiba-tiba suara melorot dan mati, kan bikin zebel sekaligus nggonduk..

Tapi dijaman serba modern ini tinggal beli batre cas sekaligus casnya, udah bisa buat dengerin lagu all day long, mulai dari merdunya suaranya mas duta sampe dibuat mual karena headbang sama lagu-lagunya metallica. Tapi jaman dulu gimana susahnya ya? Bayangin aja dulu.

Ada artcover sang musisi
Kaset tanpa artcover sama seperti sego kucing ilang karet e, ambyar. Yo oralah. Setiap rilisan fisik pasti disertai artcover. Artcover adalah artwork yang terdapat di dalam cover kaset tersebut. Jadi selain mendengarkan  lagu-lagu sang musisi, sekaligus menikmati karya sang musisi dengan melihat artwork yang sudah dikemas.

Di dalem artcover ini juga tertulis pesan dan doa-doa dari sang musisi atau “say thanks” dari musisi idola seolah menjadi “a mighty pleasure”  secara audiovisual. Yang pasti artcover ini tak tersedia di mp3 atau rilisan digital, hanya di rilisan fisik sahaja.
Artcover itu macam-macam, ya.. namanya juga art mulai dari gambaran anak kecil dalam album ‘The Cure’ hingga artwork kontroversial dari ‘Megadeth’ di album “Youthanasia” (1994) yang menampilkan sesosok wanita tua yang sedang menggantung puluhan bayi di jemuran. Keren.

Seperti datang ke konser sang musisi
Ketika lagu pertama pindah ke lagu kedua pas dengerin peterpan, seolah Ariel bilang “kalian semua luarrr, biasaaa...” ya ga gitu juga sih, tapi euforia mendengarkan kaset ini persis ketika kita menghadiri konser sang musisi. Dimana kita menikmati setiap bait lirik lagu, alunan musik, dan juga yang paling berkesan adalah penantian dari lagu sebelumnya ke  lagu favorit kita yang kita tunggu-tunggu tanpa harus men-skip lagu.

Menanti sabar menikmati setiap daftar lagu sang musisi dari awal sampai akhir, hingga lagu yang kita tunggu-tunggu  terputar. Rasanya akan berbeda, pecah! Apalagi diputar dalam radiotape dan di perdengarkan beramai-ramai, dah serasa konser banget tuh. Tinggal teriak “airrr.. airr.. airrr..” sambil mangap-mangap!

Sekarang penikmat musik dengan seenak jidat men-skip lagu yang tidak disukai menuju lagu favoritnya. Esensi dari menikmati kaset pita yang tidak bisa ditemukan saat ini ya itu, ketika ngedengerin musik  lagu yang kita tunggu-tunggu akhirnya terdengar di telinga , rasanya akan berbeda karena kita butuh waktu yang cukup lama untuk mencapai lagu tersebut.

Disitulah esensi menikmati karya sang musisi sampai klimaks.

Bisa buat mixtape sendiri
Masih ingat dengan star-lord?  Salah satu penjaga kedamaian antar galaksi, dalam film “Guardians of the Galaxy”.  Pas dia mau ngambil power stone di Planet Morag, dia muter tuh walkman di pinggangnya berpadu dengan headphone di telinganya. Nah, dia nyetel kaset mixtapenya sendiri yaitu ‘awesome mix vol.1’ dan ‘awesome mix vol.2’ yang isinya macem-macem.

Mixtape sendiri adalah kegiatan merekam ulang kaset pita yang dilakukan untuk mendapatkan lagu pilihan kesukaan kita dalam satu tape, yah.. semacam playlist lagu-lagu favorit. Biasanya generasi jaman old make cara ini buat mbribik atau menyatakan perasaan lewat mixtape yang related dengan perasaannya. Kayak pas Galih ngungkapin perasaanya ke Ratna di film AADC, melalui media mixtape romantis inilah si Ratna klepek-klepek dan nerima Galih. Co suitttttt,.
Tapi sebelum bikin mixtape romantis, inget! Cari gebetan dulu ye.. xixixi,

Hunting Kaset
Ini adalah salah satu ritual paling sakral dalam sekte pemuja rilisan fisik. Karena stok kaset pita baru sudah sulit ditemui maka pecinta rilisan fisik seperti saya ini wajib ain untuk hunting kaset album sang musisi idola. Terutama jika musisi jaman old yang sudah jarang mengemas karyanya lewat album, bakalan lebih susah ditemui.

Hunting ini bisa dilakukan dimana saja mulai dari di pasar loak, pasar tradisional, membeli dari sesama kolektor dengan harga aman dikantong, atau opsi terakhir adalah hunting dirumah sendiri, karena pasti jaman dulu bapak atau ibu kita juga punya koleksi kaset tape ini. Tinggal cari tuh barang, siapa tau nemu harta karun yang menjadi simpenan BoNyok.

Yang jelas, menurut saya ngedengerin lagu pake media apapun sah-sah saja. Selama juga tidak membajak dan menikmati duplikasi karya sang musisi. Karena sebuah karya itu akan sampai pesan dan maknya jika terjaga orisinalitasnya. Berhubung kopi saya sudah tinggal abis saya cukupkan sampai disini, semoga bisa menjadi referensi bagi kaum milenial dalam menikmati hari-hari dengan karya sang musisi tercinta.




Saturday, July 4, 2020

Layangan, kenangan membekas yang hidup lagi


Halo semuanya,
Mumpung isih komanan sawah, mumpung isih komanan jaman e
Tinggalkan sejenak gadget kita, nikmati sosialitas yang ada.
Sebelum semuanya serba modern dan sulit ditemui dan dinikmati lagi.

Jaman semakin maju begitu pula teknologi yang ada. Perkembangan jaman tak bisa terhenti, juga mempengaruhi nilai2 kedaerahan kita, yg tergerus laju pertumbuhan jaman*ngomong apasih gue,
Saya tinggal di perbatasan antara Kota Yogya dengan Kabupaten Bantul, benar2 di perbatasan. Yang menurut saya kebudayaan dan nilai2nya sungguh kontras terlihat. Dari pusat Kota Bantul jaraknya sekitar 10 kilometer ,tapi sekitar 5 kilometer dari pusat Kotamadya.  Tepat di tengah2 antara

Kotamadya dan Bantul utara.
Hidup diperkampungan, walau MeKot(mepet kota) tapi hamparan sawah masih ada sejauh mata memicing. Areal persawahan masih menghijau ketika musim tanam tiba dan menguning bila musim panen 3 bulanan datang. Sawah menjadi tempat yang sangat istimewa ditengah hiruk pikuk wilayah perkotaan. Penghijau mata dan penyejuk mata atau sekedar untuk menikmati rembang petang.

Bermain  layangan, di areal persawahan sedang menjadi tren *selain sepeda, dewasa ini. Bertepatan dengan musim panen dan awal musim kemarau, angin berhembus kencang ke utara dan ngebuat layangan hidup dilangit sore.

Selepas bersepeda sore menyusuri jalanan depan rumah menyesap udara sore, dibelakang ikatan masker dengan dalih berolahraga*uhukk,,, sambil terus mengayuh pedal sesekali juga memacu keringat. Pukul 4 sore WIB jalanan masih ramai, ramai orang bersepeda juga ramai pengguna jalan lain yang sedang pulang dari kantor atau tempat kerja.

Tapi ada yang tak biasa sore itu ketika saya melewati areal persawahan kampung saya, selain melihat orang ramai nongkrong di jalanan persawahan. Sebagian menatap langit sore dipenuhi dengan layangan.

Sebagian besarnya adalah anak-anak usia SD sampai SMP, namun beberapa kawan saya juga tak kalah dengan mereka, bahkan bapak-bapak muda pun ikut turun dalam adu kebolehan bermain layangan di udara bebas. Sebagian sudah ada yang membumbung tinggi, ada juga yang sedang menarik ulur dengan angin agar layangan dapat terbang sempurna.

Sekedar untuk mengisi waktu luang juga untuk hiburan.  Hanya bermodal senar layangan 30ribuan dan layangan seharga 1000-an hingga 3000-an saja. Sudah bisa membuat bibir tersenyum dan kepala mendongak ke atas*liat layangan..

Ketika satu dua layangan sedang ulur atau adu senar serta kepiawaian masing-masing dalam memainkan layangan hal ini menjadi semakin seru. Ada yang saling menyemangati, juga ada yang beradu mulut seru.. juga ada yang hanya menyaksikan bagaimana para pemiliknya memainkan layangan berbentuk belah ketupat tersebut.

Tak mudah memang beradu layangan, perlu kepiawaian khusus—seperti menytabilkan layangan, membaca arah angin, senar yang mumpuni, dan masih banyak lagi faktornya. Umumnya kepiawaian itu didapat sedari kecil kulino megang layangan dan dapet feeling-nya ketika senar sudah ditangan.

Keseruan memuncak ketika salah satu layangan putus dan jatuh terombang ambing diudara seperti hati ini*malah baper. Anak-anak kecil berlari sekuat tenaga seperti kaki kijang, mereka berlomba untuk mendapatkan layangan yang jatuh. Walau berjarak ratusan kilometer mereka tak mengurangi kecepatan hanya untuk meraih layangan jatuh tersebut.

Mungkin bagi sebagian besar anak-anak kehidupan real life— seperti bermain bersama kawan, lari2an, dan juga kehidupan sosial lainya menjadi hal yang dirindukan selama kurang lebih 3 bulan mereka terkurung dalam rangka PSBB. Hanya berkutat pada sekolah online dan orang tua. Juga para orang dewasa yang hanya berdiam diri di rumah. Dan hal ini tentu saja sebagai penawar kebosanan ditengah-tengah pandemi seperti ini.

Juga menjadi ajang nostalgia ketika jaman dulu masih seusia SD tahun 90an hingga 2000, kembali merasakan kenangan dan keseruan bermain2-main dengan senar dan udara di hamparan sawah yang menguning.

Ditengah urbanisasi dan kemajuan jaman dan teknologi, ini menjadi hal yang menarik. Pasalnya, semua selalu dikaitkan dengan gadget dan membuat banyak permainan tradisional ditinggalkan dan lebih asyik bermain dengan gadget. Mainan tradisional ini hidup kembali setelah beberapa tahun belakangan sudah jarang nampak. Setelah pandemi ini malah membuncah tren ini.

Dan ini membuat saya senang, karena anak-anak juga para dewasa beranjak dari gadget-gadget mereka dan menghidupkan lagi permainan tradisional. Menyadarkan bahwa semuanya tak harus melulu soal gadget dan teknologi yang bisa membuat kita bahagia, tetapi permainan-permainan tradisional ini juga tak kalah seru dengan gadget yang kita puja dan pandangi setiap waktu.

Seperti di dalam mesin waktu, mengantarkan ke kenangan dan memori masa kecil dahulu. Ditengah-tengah areal persawahan sore hari, bermian layangan. Menikmati waktu-waktu yang tersisa akan lahan pertanian tersebut sebelum semuany habis ditanami oleh batu bata. Juga menikmati zaman ini sebelum semuanya tak dapat ditemui lagi di beberapa tahun kedepan.

Setelah adzan maghrib saya pulang, mandi lalu push rank :D