Malem takbiran, semua orang menyambut dg sukacita. Ada yang
sukacita karena meraih kemenangan, ada yang sukacita karena terbebas dari
puasa.. memang ada dua tipikal manusia menurut saya. Kalo saya bingung mau
sedih atau seneng*hmm labil..
Malem ini karena keganasan wabah, terpaksa untuk pertama kalinya
malam takbiran saya tak dihiasai oleh gegap gempita takbir keliling. Cuma saya
isi dg kumpul dg beberapa teman saya, itupun hanya beberapa saat tapi saya
memaknainya. Nggak ada acara besar, kampung saya terasa sepi, ngungun, dan
nglangut.
Saya sendiri bisa dibilang jarang punya temen yang soul di kampung, saya kurang bisa
berbaur dg mereka disamping itu saya jg punya bapak yang sensitif kalo saya
ngumpul di kampung gajelas sampe malem. Disitu saya kadang merasa sedih.
Malem ini, selepas acara bakar2 dirumah mbak Keken, dg 6
orang lainnya mereka pulang lalu saya menghubungi teman saya Litan.. dia adalah
penganut agama Non-Is bisa dibilang. Saya wassap dia dan dibalas. Meminta untuk
sekedar menemani saya dimalam nglangut ini untuk ngobrol. Setelah menunggu saya
di jemput dg motor vario 150 miliknya.. berangkatlah, ngeenggg!!
Berputar2 mencari angkringan dan burjonan yang sepi, sesaat
saya nemu tempat yang pas. Di pinggir lapangan luas dihadapan langit cerah dan
kerlip bintang. Mulailah perbincangan ngalor ngidul saya, dikelilingi suara
takbir yang menggema begitu menyentuh relung hati saya.
Poinya disini.
Menurut saya ini merupakan salah satu kerukunan umat beragama
dalam lingkup paling kecil. Dia menghargai saya, dengan ikut merayakan hari
raya tanpa merasakan. Bersatu dalam lingkup kecil pertemanan, saling berbagi
ruang dan waktu. Tanpa terganggu dengan suara takbir dan hal2 lain menyangkut
malam takbiran.
Ditemani kopi hitam dan rokok kretek, perbincangan menjadi
semakin hangat dan indah. Keindahan bisa tercipta.
Bayangkan.. bila semua umat beragama bisa seperti itu. Bisa tak
ada isu natal, tak ada pembantaian umat minor, dan isu2 intoleran umat
beragama. Hidup berdampingan. Menciptakan keindahan, momentum anugerah hidup
tertinggi dalam berdampingan hidup beragama. Semua hidup dalam keharmonian. Disitu
saya mulai mikir, kalau semua umat beragama bisa seperti ini. Dunia pasti damai.
Apalah arti beragama bila tak menjalin toleransi dan keindahan satu sama
lain. Agama adalah keyakinan, kebenaranya terletak pada relung tiap insan
manusianya bukan beterbangan di udara. Bila keyakinan akan kebenaran tersebut
kita simpan baik2 dalam akal dan pikiran kita intoleransi umat beragama mungkin
tak ada.
Dunia ini penuh kegelapan dan agama adalah lampu pijar yg menerangi di kegelapan. Satu lampu pijar akan terang tapi bagaimana dg banyak lampu pijar dihidupkan menjadi satu, pasti akan menyala2 tanpa menyisakan sedikit pun kegelapan. Memberi warna dan harmoni.
Tak ada benar atau salah, jika semua bisa menerima setiap
keadaan dengan keindahan, harmoni, dan apa adanya. Benar atau salah hanya opini
disimpan baik2 dalam brankas diri. Yg terpenting ialah kebenaran diri bukan
pembenaran atas orang lain. Karena setiap diri punya kebenaran masing2.
Teman saya ini termasuk sinar, menerima dan menemani saya, menerima keadaan hari raya, dan
menghormati secaraa penuh atas saya. Sebuah bentuk keindahan dunia. Hanya saja
semua ada batas2nya dan saya saling memahami atas batas2 tersbut. Menjaga
harmoni agar tetap berjalan, agar dunia perlahan bisa bebas dari isu
permasalahan dan intoleransi beragama.
Menjadi impian.
No comments:
Post a Comment