Saturday, May 23, 2020

Tentang Toleransi


Malem takbiran, semua orang menyambut dg sukacita. Ada yang sukacita karena meraih kemenangan, ada yang sukacita karena terbebas dari puasa.. memang ada dua tipikal manusia menurut saya. Kalo saya bingung mau sedih atau seneng*hmm labil..

Malem ini karena keganasan wabah, terpaksa untuk pertama kalinya malam takbiran saya tak dihiasai oleh gegap gempita takbir keliling. Cuma saya isi dg kumpul dg beberapa teman saya, itupun hanya beberapa saat tapi saya memaknainya. Nggak ada acara besar, kampung saya terasa sepi, ngungun, dan nglangut.

Saya sendiri bisa dibilang jarang punya temen yang soul di kampung, saya kurang bisa berbaur dg mereka disamping itu saya jg punya bapak yang sensitif kalo saya ngumpul di kampung gajelas sampe malem. Disitu saya kadang merasa sedih.

Malem ini, selepas acara bakar2 dirumah mbak Keken, dg 6 orang lainnya mereka pulang lalu saya menghubungi teman saya Litan.. dia adalah penganut agama Non-Is bisa dibilang. Saya wassap dia dan dibalas. Meminta untuk sekedar menemani saya dimalam nglangut ini untuk ngobrol. Setelah menunggu saya di jemput dg motor vario 150 miliknya.. berangkatlah, ngeenggg!!

Berputar2 mencari angkringan dan burjonan yang sepi, sesaat saya nemu tempat yang pas. Di pinggir lapangan luas dihadapan langit cerah dan kerlip bintang. Mulailah perbincangan ngalor ngidul saya, dikelilingi suara takbir yang menggema begitu menyentuh relung hati saya.

Poinya disini.

Menurut saya ini merupakan salah satu kerukunan umat beragama dalam lingkup paling kecil. Dia menghargai saya, dengan ikut merayakan hari raya tanpa merasakan. Bersatu dalam lingkup kecil pertemanan, saling berbagi ruang dan waktu. Tanpa terganggu dengan suara takbir dan hal2 lain menyangkut malam takbiran.

Ditemani kopi hitam dan rokok kretek, perbincangan menjadi semakin hangat dan indah. Keindahan bisa tercipta.

Bayangkan.. bila semua umat beragama bisa seperti itu. Bisa tak ada isu natal, tak ada pembantaian umat minor, dan isu2 intoleran umat beragama. Hidup berdampingan. Menciptakan keindahan, momentum anugerah hidup tertinggi dalam berdampingan hidup beragama. Semua hidup dalam keharmonian. Disitu saya mulai mikir, kalau semua umat beragama bisa seperti ini. Dunia pasti damai.

Apalah arti beragama bila tak menjalin toleransi dan keindahan satu sama lain. Agama adalah keyakinan, kebenaranya terletak pada relung tiap insan manusianya bukan beterbangan di udara. Bila keyakinan akan kebenaran tersebut kita simpan baik2 dalam akal dan pikiran kita intoleransi umat beragama mungkin tak ada.

Dunia ini penuh kegelapan dan agama adalah lampu pijar yg menerangi di kegelapan. Satu lampu pijar akan terang tapi bagaimana dg banyak lampu pijar dihidupkan menjadi satu, pasti akan menyala2 tanpa menyisakan sedikit pun kegelapan. Memberi warna dan harmoni.

Tak ada benar atau salah, jika semua bisa menerima setiap keadaan dengan keindahan, harmoni, dan apa adanya. Benar atau salah hanya opini disimpan baik2 dalam brankas diri. Yg terpenting ialah kebenaran diri bukan pembenaran atas orang lain. Karena setiap diri punya kebenaran masing2.

Teman saya ini termasuk sinar,  menerima dan menemani saya, menerima keadaan hari raya, dan menghormati secaraa penuh atas saya. Sebuah bentuk keindahan dunia. Hanya saja semua ada batas2nya dan saya saling memahami atas batas2 tersbut. Menjaga harmoni agar tetap berjalan, agar dunia perlahan bisa bebas dari isu permasalahan dan intoleransi beragama.

Menjadi impian.

No comments:

Post a Comment