Saturday, July 4, 2020

Layangan, kenangan membekas yang hidup lagi


Halo semuanya,
Mumpung isih komanan sawah, mumpung isih komanan jaman e
Tinggalkan sejenak gadget kita, nikmati sosialitas yang ada.
Sebelum semuanya serba modern dan sulit ditemui dan dinikmati lagi.

Jaman semakin maju begitu pula teknologi yang ada. Perkembangan jaman tak bisa terhenti, juga mempengaruhi nilai2 kedaerahan kita, yg tergerus laju pertumbuhan jaman*ngomong apasih gue,
Saya tinggal di perbatasan antara Kota Yogya dengan Kabupaten Bantul, benar2 di perbatasan. Yang menurut saya kebudayaan dan nilai2nya sungguh kontras terlihat. Dari pusat Kota Bantul jaraknya sekitar 10 kilometer ,tapi sekitar 5 kilometer dari pusat Kotamadya.  Tepat di tengah2 antara

Kotamadya dan Bantul utara.
Hidup diperkampungan, walau MeKot(mepet kota) tapi hamparan sawah masih ada sejauh mata memicing. Areal persawahan masih menghijau ketika musim tanam tiba dan menguning bila musim panen 3 bulanan datang. Sawah menjadi tempat yang sangat istimewa ditengah hiruk pikuk wilayah perkotaan. Penghijau mata dan penyejuk mata atau sekedar untuk menikmati rembang petang.

Bermain  layangan, di areal persawahan sedang menjadi tren *selain sepeda, dewasa ini. Bertepatan dengan musim panen dan awal musim kemarau, angin berhembus kencang ke utara dan ngebuat layangan hidup dilangit sore.

Selepas bersepeda sore menyusuri jalanan depan rumah menyesap udara sore, dibelakang ikatan masker dengan dalih berolahraga*uhukk,,, sambil terus mengayuh pedal sesekali juga memacu keringat. Pukul 4 sore WIB jalanan masih ramai, ramai orang bersepeda juga ramai pengguna jalan lain yang sedang pulang dari kantor atau tempat kerja.

Tapi ada yang tak biasa sore itu ketika saya melewati areal persawahan kampung saya, selain melihat orang ramai nongkrong di jalanan persawahan. Sebagian menatap langit sore dipenuhi dengan layangan.

Sebagian besarnya adalah anak-anak usia SD sampai SMP, namun beberapa kawan saya juga tak kalah dengan mereka, bahkan bapak-bapak muda pun ikut turun dalam adu kebolehan bermain layangan di udara bebas. Sebagian sudah ada yang membumbung tinggi, ada juga yang sedang menarik ulur dengan angin agar layangan dapat terbang sempurna.

Sekedar untuk mengisi waktu luang juga untuk hiburan.  Hanya bermodal senar layangan 30ribuan dan layangan seharga 1000-an hingga 3000-an saja. Sudah bisa membuat bibir tersenyum dan kepala mendongak ke atas*liat layangan..

Ketika satu dua layangan sedang ulur atau adu senar serta kepiawaian masing-masing dalam memainkan layangan hal ini menjadi semakin seru. Ada yang saling menyemangati, juga ada yang beradu mulut seru.. juga ada yang hanya menyaksikan bagaimana para pemiliknya memainkan layangan berbentuk belah ketupat tersebut.

Tak mudah memang beradu layangan, perlu kepiawaian khusus—seperti menytabilkan layangan, membaca arah angin, senar yang mumpuni, dan masih banyak lagi faktornya. Umumnya kepiawaian itu didapat sedari kecil kulino megang layangan dan dapet feeling-nya ketika senar sudah ditangan.

Keseruan memuncak ketika salah satu layangan putus dan jatuh terombang ambing diudara seperti hati ini*malah baper. Anak-anak kecil berlari sekuat tenaga seperti kaki kijang, mereka berlomba untuk mendapatkan layangan yang jatuh. Walau berjarak ratusan kilometer mereka tak mengurangi kecepatan hanya untuk meraih layangan jatuh tersebut.

Mungkin bagi sebagian besar anak-anak kehidupan real life— seperti bermain bersama kawan, lari2an, dan juga kehidupan sosial lainya menjadi hal yang dirindukan selama kurang lebih 3 bulan mereka terkurung dalam rangka PSBB. Hanya berkutat pada sekolah online dan orang tua. Juga para orang dewasa yang hanya berdiam diri di rumah. Dan hal ini tentu saja sebagai penawar kebosanan ditengah-tengah pandemi seperti ini.

Juga menjadi ajang nostalgia ketika jaman dulu masih seusia SD tahun 90an hingga 2000, kembali merasakan kenangan dan keseruan bermain2-main dengan senar dan udara di hamparan sawah yang menguning.

Ditengah urbanisasi dan kemajuan jaman dan teknologi, ini menjadi hal yang menarik. Pasalnya, semua selalu dikaitkan dengan gadget dan membuat banyak permainan tradisional ditinggalkan dan lebih asyik bermain dengan gadget. Mainan tradisional ini hidup kembali setelah beberapa tahun belakangan sudah jarang nampak. Setelah pandemi ini malah membuncah tren ini.

Dan ini membuat saya senang, karena anak-anak juga para dewasa beranjak dari gadget-gadget mereka dan menghidupkan lagi permainan tradisional. Menyadarkan bahwa semuanya tak harus melulu soal gadget dan teknologi yang bisa membuat kita bahagia, tetapi permainan-permainan tradisional ini juga tak kalah seru dengan gadget yang kita puja dan pandangi setiap waktu.

Seperti di dalam mesin waktu, mengantarkan ke kenangan dan memori masa kecil dahulu. Ditengah-tengah areal persawahan sore hari, bermian layangan. Menikmati waktu-waktu yang tersisa akan lahan pertanian tersebut sebelum semuany habis ditanami oleh batu bata. Juga menikmati zaman ini sebelum semuanya tak dapat ditemui lagi di beberapa tahun kedepan.

Setelah adzan maghrib saya pulang, mandi lalu push rank :D






No comments:

Post a Comment