Lebaran tiba, kemarin satu syawal 1441H. Idul
fitri adalah lebaran yang juga berarti hari raya umat islam setelah berpuasa
selama sebulan. Lebaran kali ini mungkin sangat berbeda dengan beberapa tahun
kebelakang dan ini menjadi sejarah baru lebaran tersepi dan ternglangut dalam
hidup saya, bahkan mungkin di hidup kalian semuanya.
Beberapa
hari sebelum idul fitri, biasanya orang2 yang ditanah rantau pulang kampung
atau mudik, ehh.. tapi saya gatau mana yang benar. Pulang kampung atau mudik? Bikin
bingung saja. Biasanya seminggu atau beberapa hari mereka sudah menjadwalkan
cuti atau memang sudah ada jatah libur. Lalu pulang ke rumah orang tua di
daerah.
Jalan2 nasional dan protokol penuh dipadati
kendaraan. Stasiun padat. Bandara berjejal. Terminal bis bekerja maksimal. Pelabuhan
silih berganti menyebrangkan orang. Sebegitu riuh dan sebegitu heboh menjelang lebaran.
Malam
sebelum idul fitri, biasanya ada takbir keliling. Kampung saya biasanya
ikut dan berpartisipasi dalam lomba takbiran yg diadakan. Kemeriahan dan
keseruanya nggak semalam itu saja, tapi malam2 sebelumnya juga seru dan riuh
mempersiapkan kebutuhan lomba. Berkumpul, gotong royong, membentuk sebuah
harmoni kedaerahan jauh dari nafas urban.
Setelah seminggu atau lebih persiapan,
malam itu semua siap. Musik dan suara2 takbir digemakan semua bersemangat tak
ubahnya genderang perang dibunyikan. Diniatkan untuk syiar dan dakwah. Kostum,
maskot, dan koreografi nan indah ditujukan untuk memeriahkan. Setiap masjid kampung
semua melakukan hal serupa.
Pagi
hari Idul fitri, karena semalaman begadang dan kecapean takbir keliling
biasanya para muda seperti saya susah bangun. Bangun untuk shalat id berjamaah
di lapangan. Saya dan kedua mas saya biasanya dibangunkan oleh bapak dan ibu,
yah.. walaupun ada sedikit cek-cok menghiasi pagi hari yg fitri itu.
Shalat id, di lapangan bersama ribuan orang
lainya, ribuan jamaah, ribuan umat islam, dg terus melantunkan takbir, ramai
namun menenangkan hati setiap jiwa. Hingga imam menyeru “allauakbar” sebanyak 7
kali, semua diam, khusyu’, hidup dalam diam.
Siang idul
fitri, semua keluarga berkumpul entah yg dari perantauan, daerah lain, luar
angkasa negeri atau bahkan daerah
konflik. Semua berkumpul dan
bermaaf-maafan menjadi satu dalam suasana haru biru. Sungkeman ditemani
suguhan2 kecil membuat lengkap suasana siang itu.
dan satu lagi tradisi, ujung.
Ujung dalam Bahasa Jawa memiliki arti mengunjungi orangtua, keluarga, kerabat, tetangga dan orang-orang yang dihormati lainnya, saling bersalaman, meminta maaf dan memohon doa kebaikan. Tradisi ini memang selalu menjadi momen ditunggu2 terutama bagi para orang tua yg hari2nya sudah mulai kelabu. Sanak saudara yg datang memberi warna pada hari yang fitri itu. Tak jarang juga tangis pecah, entah karena kerinduan atau keharuan. Hari2 penuh doa dan mendoakan.
Malam idul fitri, seringkali masih ramai. Apalagi dirumah sanak saudara paling tua atau dituakan, seharian itu rumah seperti toko yang silih berganti orang berdatangan. Dan juga makanan2 khas yg itu2 aja tapi selalu bikin kangen. Seperti opor, rendang, ketupat, tape, emping, bakso.
Pundi2 uang pun menebal bagi anak2, tawa riang dan senyum manisnya membuat siapapun memberi sedikit rejekinya untuk anak tersebut.
Itu mungkin rutinitas lebaran, tapi tahun ini mungkin banyak rencana yg pupus. Ditengah kerinduan masal berkumpul dan bermaafan. Lewat layar kaca menyapa keluarga, hidup dalam kedekatan emosional.
Jarak memang memisahkan tapi ruang dan waktu tak jadi penghalang, untuk maaf yang tulus.
Tahun ini memang tak seperti tahun2 sebelumnya, karena kehendak alam tak bisa dilawan. Tapi, tuhan memang adil tetap memberi kenikmatan di keterbatasan. Diperantauan mengadu sendu dari kejauhan di kesendirian.Raga masih disini namun hati terkait dalam kerinduan.
Semoga semuanya lekas membaik.
Minal aidzin walfaidzin. Mohon maaf lahirbatin.
Thx u till u next time.
No comments:
Post a Comment