Monday, May 25, 2020

Kehidupan Hari Raya


Lebaran tiba, kemarin satu syawal 1441H. Idul fitri adalah lebaran yang juga berarti hari raya umat islam setelah berpuasa selama sebulan. Lebaran kali ini mungkin sangat berbeda dengan beberapa tahun kebelakang dan ini menjadi sejarah baru lebaran tersepi dan ternglangut dalam hidup saya, bahkan mungkin di hidup kalian semuanya.

Beberapa hari sebelum idul fitri, biasanya orang2 yang ditanah rantau pulang kampung atau mudik, ehh.. tapi saya gatau mana yang benar. Pulang kampung atau mudik? Bikin bingung saja. Biasanya seminggu atau beberapa hari mereka sudah menjadwalkan cuti atau memang sudah ada jatah libur. Lalu pulang ke rumah orang tua di daerah.

Jalan2 nasional dan protokol penuh dipadati kendaraan. Stasiun padat. Bandara berjejal. Terminal bis bekerja maksimal. Pelabuhan silih berganti menyebrangkan orang. Sebegitu riuh dan sebegitu heboh menjelang lebaran.

Malam sebelum idul fitri, biasanya ada takbir keliling. Kampung saya biasanya ikut dan berpartisipasi dalam lomba takbiran yg diadakan. Kemeriahan dan keseruanya nggak semalam itu saja, tapi malam2 sebelumnya juga seru dan riuh mempersiapkan kebutuhan lomba. Berkumpul, gotong royong, membentuk sebuah harmoni kedaerahan jauh dari nafas urban.

Setelah seminggu atau lebih persiapan, malam itu semua siap. Musik dan suara2 takbir digemakan semua bersemangat tak ubahnya genderang perang dibunyikan. Diniatkan untuk syiar dan dakwah. Kostum, maskot, dan koreografi nan indah ditujukan untuk memeriahkan. Setiap masjid kampung semua melakukan hal serupa.

Pagi hari Idul fitri, karena semalaman begadang dan kecapean takbir keliling biasanya para muda seperti saya susah bangun. Bangun untuk shalat id berjamaah di lapangan. Saya dan kedua mas saya biasanya dibangunkan oleh bapak dan ibu, yah.. walaupun ada sedikit cek-cok menghiasi pagi hari yg fitri itu.

Shalat id, di lapangan bersama ribuan orang lainya, ribuan jamaah, ribuan umat islam, dg terus melantunkan takbir, ramai namun menenangkan hati setiap jiwa. Hingga imam menyeru “allauakbar” sebanyak 7 kali, semua diam, khusyu’, hidup dalam diam.

Siang idul fitri, semua keluarga berkumpul entah yg dari perantauan, daerah lain, luar angkasa  negeri atau bahkan daerah konflik. Semua berkumpul  dan bermaaf-maafan menjadi satu dalam suasana haru biru. Sungkeman ditemani suguhan2 kecil membuat lengkap suasana siang itu. 

dan satu lagi tradisi, ujung.
 
Ujung dalam Bahasa Jawa memiliki arti mengunjungi orangtua, keluarga, kerabat, tetangga dan orang-orang yang dihormati lainnya, saling bersalaman, meminta maaf dan memohon doa kebaikan. Tradisi ini memang selalu menjadi momen ditunggu2 terutama bagi para orang tua yg hari2nya sudah mulai kelabu.  Sanak saudara yg datang memberi warna pada hari yang fitri itu. Tak jarang juga tangis pecah, entah karena kerinduan atau keharuan. Hari2 penuh doa dan mendoakan.

Malam idul fitri, seringkali masih ramai. Apalagi dirumah sanak saudara paling tua atau dituakan, seharian itu rumah seperti toko yang silih berganti orang berdatangan. Dan juga makanan2 khas yg itu2 aja tapi selalu bikin kangen.  Seperti opor, rendang, ketupat, tape, emping, bakso.  

Pundi2 uang pun menebal bagi anak2, tawa riang dan senyum manisnya membuat siapapun memberi sedikit rejekinya untuk anak tersebut. 

Itu mungkin rutinitas lebaran, tapi tahun ini mungkin banyak rencana yg pupus. Ditengah kerinduan masal berkumpul dan bermaafan. Lewat layar kaca menyapa keluarga, hidup dalam kedekatan emosional.  

Jarak memang memisahkan tapi ruang dan waktu tak jadi penghalang, untuk maaf yang tulus. 

Tahun ini memang tak seperti tahun2 sebelumnya, karena kehendak alam tak bisa dilawan. Tapi, tuhan memang adil tetap memberi kenikmatan di keterbatasan. Diperantauan mengadu sendu dari kejauhan di kesendirian.Raga masih disini namun hati terkait dalam kerinduan.

Semoga semuanya lekas membaik.
Minal aidzin walfaidzin. Mohon maaf lahirbatin.

Thx u till u next time.

 




No comments:

Post a Comment