Adzan maghrib menuutp perjumpaan dengan senja. Desir angin mulai menusuk,
kopi mulai dingin dan tinggal separo. Berjalan menuju lift turun ke lantai 4
menuju mushala, sebelumnya kuletakan ponsel, jam tanga, dan semua benda di saku
diatas meja. Kutinggalkan barangku disamping komputer yang masih menyala.
Bejubel dengan seluruh jamaah, kemewahan sederhana. Menerbangkanku pada kenangan
masa kecil di langgar tua tepi sawah pak dukuh, setiap sore berhimpit dengan
jamaah krucil lainya sepulang TPA.
Shalat selesai. Kembali ke ruang kantor di lantai 20. Kudapati komputerku
masih menyala ditengah lengangnya kantor. Aku berjalan pelan.
Setelah duduk di kursi empukku, aku mulai befikir tentang omongan Mahesa. Membuka
ponsel, mencari kontak ‘eNzyY’—alay
memang tapi dia sendiri yang menamainya, sering senyum sendiri kalau cari
kontaknya Whatsapp-nya
Perlahan dengan perasaan gugup aku mulai mengetik kata demi kata.
“hai zy, apa kabar..” kuurungkan niat mengirim. Kuhapus kalimat itu.
Isi kepalaku berputar, memilih kalimat yang cocok.
“hey, enzy ya? Ini aku erwin gima..” terhenti di huruf N. Kutekan lagi
tombol delete lagi.
Kumulai lagi,
“hey. Zy, ini erwin.. selamat berak..” belum selesai, kutulis. Jempol
bangsatku menekan tombol send.
Aku berkeringat, dan panik. Cepat-cepat aku menarik kembali pesan itu dan menghapusnya.
Aku makin bingung. Hati berdegup-degup, keringat dingin mulai bercucuran,
pandangan kabur*ya enggaklah emang aku anemia.
Beberapa kali aku menghapus kalimat yang sudah tertulis, tak percaya dengan
apa yang akan ku kirimkan kepadanya. Sekali lagi kugerakan jari menulis kalimat—“hai, ini aku Erwin. Masih inget aku gak?” foto selfieku di kantor, kukirim
bersamaan dengan chat itu kepada Enzy, seperti kebiasaan dulu menyapa di pagi hari
bersamaan dengan foto selfie.
Kukirim dengan hati yang gugup.Tak kupikirkan lagi, kuletakan ponsel itu ke
samping keyboard komputer lalu mulai mengerjakan proposal dari Mahesa, dengan
cermat ku kerjakan. Mengolah data dan menjadikan proposal adalah keahlianku, butuh waktu kurang dari satu jam.
Proposal sudah siap di preview. Karena memang basicku adalah penulis sebelum
menjadi ke kreatif.
Satu jam berlalu dengan cepat, bagian proposal kini tinggal bagian
kesimpulan. Jariku mengetik seirama dengan perintah kerja otak. Mata yang sudah
mulai capek dan mulut yang mulai masam, menuntutku untuk beristirahat sejenak. Aku
keluar lagi ke balkon gedung berkaca ini, dan mulai merokok. Duduk diam diantara
kesibukan ibukota malam dan kelengangan kantor yang kian sepi. kutinggalkan
komputer dalam keadaan menyala lagi.
THRIIING!! (ringtone
pesan singkatku)
Ponselku berbunyi dan begetar dikantung celanaku. Pikiranku mulai kabur,
perasaan campur aduk, dingin mulai menyeruak. Kuambil ponsel di ujung kantung
celanaku diantara paha dan selangkangan, dengan hati-hati dan perlahan. Senyum lebar
tergambar di mukaku.
Enzy membalas chatku pikirku, tapi sayang saat kubuka ternyata notifikasi
bahwa paket internet bulan ini sudah berakhir.
“aaaaaaarrrrrggh!!!!”
Iya itu teriakan yang keluar dari mulutku. Aku menggelinjang dari tempat
duduku. Kulihat layar ponsel dan cahayanya berpendar ke mukaku, chatku ke Enzy
sudah ter-ceklis dua yang artinya sudah terkirim sejam yang lalu.
Bingung, bagaimana aku bisa mengetahui balesan Enzy kalau tak ada internet.
Wifi kantor, itu jawaban yang terlintas. Tapi aku juga teringat, dua bulan
terakhir kantor memberlakukan jam malam dimana setelah pukul tujuh malam wifi
dan semua komputer akan mati otomatis demi menghemat daya dan pengeluaran.
Aku tersadar, sekarang jam tujuh lewat satu menit. Yang artinya wifi sudah
mati, dan.. komputerku yang masih menyala juga.. mati.
ASTAGAAA!! Proposal Mahesa..
“aarrrrgggghhh!!”
Kini teriakanku makin kencang, meraung diantara kebisingan jalanan
protokol. Aku lupa tadi sudah kutekan tombol save atau belum. Yang jelas komputer itu sudah mati sekarang
bersamaan dengan matinya Wifi kantor.
Rokok yang sudah habis, kujejalkan keras-keras ujungnya ke asbak hitam itu agar padam.
Ini sudah terlalu larut, kuputuskan untuk pulang dan menggarap proposal itu
di cafe Italia dipinggir jalan itu menggunakan laptop. Aku berjalan masuk lagi ke dalam kantor, gelap
gulita. Pendingin ruangan sudah tidak menyala. Pengap. Aku hanya bermodalkan flash ponselku, berjalan menuju meja
kerjaku. Membereskan barang-barangku ke dalam ransel. Lalu berjalan ke lift.
Lift kantor pun juga ikut mati!! ASTAGAAA!!!!!!
“aaaaaaarrrgggghhhhhhhhhhhhh!!!!”
Kini teriakanku semakin keras, mungkin kalau security dengar mengira ada maling yang kebelet boker. Aku tak bisa
berkutik, lalu berjalan menuju tangga darurat dan turun hingga ke lobby gedung
itu. Pendingin ruangan yang mati dan tangga darurat membuat kerinagtku bercucuran.
Aku berjalan keluar dan menyapa security
dengan anggukan.
“habis olahraga malem ya mas? berapa ronde?” guaru pak security, tertawa kecil. Malam itu malam jumat sih,
“ohh enggak pak, emang saya abis mandi tapi gak copot baju aja..” balasku,
kemeja kantor sudah basah kuyup. Sambil berjalan menggeloyor meninggalkanya.
Aku berjalan gontai dan limbung menuju parkiran. Masuk ke mobil,
kuhempaskan bokongku ke jok bludru mobil tua ini. Menstater dan memaksimalkan pendingin mobil. Keluar dari parkiran
kantor aku mengendarai mobil hingga melaju dijalanan utama Ibukota. Menuju cafe
Italia di ujung jalan.
====
Bersambung..
No comments:
Post a Comment