Wednesday, May 20, 2020

selamat pagi nona.. #4


Adzan maghrib menuutp perjumpaan dengan senja. Desir angin mulai menusuk, kopi mulai dingin dan tinggal separo. Berjalan menuju lift turun ke lantai 4 menuju mushala, sebelumnya kuletakan ponsel, jam tanga, dan semua benda di saku diatas meja. Kutinggalkan barangku disamping komputer yang masih menyala.

Bejubel dengan seluruh jamaah, kemewahan sederhana. Menerbangkanku pada kenangan masa kecil di langgar tua tepi sawah pak dukuh, setiap sore berhimpit dengan jamaah krucil lainya sepulang TPA.

Shalat selesai. Kembali ke ruang kantor di lantai 20. Kudapati komputerku masih menyala ditengah lengangnya kantor. Aku berjalan pelan.

Setelah duduk di kursi empukku, aku mulai befikir tentang omongan Mahesa. Membuka ponsel, mencari kontak ‘eNzyY’—alay memang tapi dia sendiri yang menamainya, sering senyum sendiri kalau cari kontaknya Whatsapp-nya

Perlahan dengan perasaan gugup aku mulai mengetik kata demi kata.

“hai zy, apa kabar..” kuurungkan niat mengirim. Kuhapus kalimat itu.

Isi kepalaku berputar, memilih kalimat yang cocok.

“hey, enzy ya? Ini aku erwin gima..” terhenti di huruf N. Kutekan lagi tombol delete lagi.

Kumulai lagi,

“hey. Zy, ini erwin.. selamat berak..” belum selesai, kutulis. Jempol bangsatku menekan tombol send.

Aku berkeringat, dan panik. Cepat-cepat aku menarik kembali pesan itu dan menghapusnya.

Aku makin bingung. Hati berdegup-degup, keringat dingin mulai bercucuran, pandangan kabur*ya enggaklah emang aku anemia.

Beberapa kali aku menghapus kalimat yang sudah tertulis, tak percaya dengan apa yang akan ku kirimkan kepadanya. Sekali lagi kugerakan jari menulis kalimat—“hai, ini aku Erwin. Masih inget aku gak?” foto selfieku di kantor, kukirim bersamaan dengan chat itu kepada Enzy, seperti kebiasaan dulu menyapa di pagi hari bersamaan dengan foto selfie.

Kukirim dengan hati yang gugup.Tak kupikirkan lagi, kuletakan ponsel itu ke samping keyboard komputer lalu mulai mengerjakan proposal dari Mahesa, dengan cermat ku kerjakan. Mengolah data dan menjadikan proposal adalah  keahlianku, butuh waktu kurang dari satu jam. Proposal sudah siap di preview. Karena memang basicku adalah penulis sebelum menjadi ke kreatif.

Satu jam berlalu dengan cepat, bagian proposal kini tinggal bagian kesimpulan. Jariku mengetik seirama dengan perintah kerja otak. Mata yang sudah mulai capek dan mulut yang mulai masam, menuntutku untuk beristirahat sejenak. Aku keluar lagi ke balkon gedung berkaca ini, dan mulai merokok. Duduk diam diantara kesibukan ibukota malam dan kelengangan kantor yang kian sepi. kutinggalkan komputer dalam keadaan menyala lagi.

THRIIING!! (ringtone pesan singkatku)

Ponselku berbunyi dan begetar dikantung celanaku. Pikiranku mulai kabur, perasaan campur aduk, dingin mulai menyeruak. Kuambil ponsel di ujung kantung celanaku diantara paha dan selangkangan, dengan hati-hati dan perlahan. Senyum lebar tergambar di mukaku.
           Enzy membalas chatku pikirku, tapi sayang saat kubuka ternyata notifikasi bahwa paket internet bulan ini sudah berakhir.

“aaaaaaarrrrrggh!!!!”

Iya itu teriakan yang keluar dari mulutku. Aku menggelinjang dari tempat duduku. Kulihat layar ponsel dan cahayanya berpendar ke mukaku, chatku ke Enzy sudah ter-ceklis dua yang artinya sudah terkirim sejam yang lalu.

Bingung, bagaimana aku bisa mengetahui balesan Enzy kalau tak ada internet. Wifi kantor, itu jawaban yang terlintas. Tapi aku juga teringat, dua bulan terakhir kantor memberlakukan jam malam dimana setelah pukul tujuh malam wifi dan semua komputer akan mati otomatis demi menghemat daya dan pengeluaran.

Aku tersadar, sekarang jam tujuh lewat satu menit. Yang artinya wifi sudah mati, dan.. komputerku yang masih menyala juga.. mati.

ASTAGAAA!! Proposal Mahesa..

“aarrrrgggghhh!!”

Kini teriakanku makin kencang, meraung diantara kebisingan jalanan protokol. Aku lupa tadi sudah kutekan tombol save atau belum. Yang jelas komputer itu sudah mati sekarang bersamaan dengan matinya Wifi kantor. Rokok yang sudah habis, kujejalkan keras-keras ujungnya ke asbak hitam itu agar padam.

Ini sudah terlalu larut, kuputuskan untuk pulang dan menggarap proposal itu di cafe Italia dipinggir jalan itu menggunakan laptop. Aku berjalan masuk lagi ke dalam kantor, gelap gulita. Pendingin ruangan sudah tidak menyala. Pengap. Aku hanya bermodalkan flash ponselku, berjalan menuju meja kerjaku. Membereskan barang-barangku ke dalam ransel. Lalu berjalan ke lift.

Lift kantor pun juga ikut mati!! ASTAGAAA!!!!!!

“aaaaaaarrrgggghhhhhhhhhhhhh!!!!”

Kini teriakanku semakin keras, mungkin kalau security dengar mengira ada maling yang kebelet boker. Aku tak bisa berkutik, lalu berjalan menuju tangga darurat dan turun hingga ke lobby gedung itu. Pendingin ruangan yang mati dan tangga darurat membuat kerinagtku bercucuran.

Aku berjalan keluar dan menyapa security dengan anggukan.

“habis olahraga malem ya mas? berapa ronde?” guaru pak security, tertawa kecil. Malam itu malam jumat sih,

“ohh enggak pak, emang saya abis mandi tapi gak copot baju aja..” balasku, kemeja kantor sudah basah kuyup. Sambil berjalan menggeloyor meninggalkanya.

Aku berjalan gontai dan limbung menuju parkiran. Masuk ke mobil, kuhempaskan bokongku ke jok bludru mobil tua ini. Menstater dan memaksimalkan pendingin mobil. Keluar dari parkiran kantor aku mengendarai mobil hingga melaju dijalanan utama Ibukota. Menuju cafe Italia di ujung jalan.

               ====





                                                                   Bersambung..

No comments:

Post a Comment