Semalam daerah sini hujan, mendung pekat sedari sore. Ricis gerimis
membasahi dahan2 pohon di belakang rumah. Dingin, sejuk, dan tenang. Hidup di
perbatasan kota membuat suasana disini tak setenang di desa. Hingar-bingar kota
terdengar riuh rendah hingga beranda rumah ini.
Pukul sepuluh malam, yang ngungun nglangut dan tintrim. Rintik
hujan dan kesunyian menjadi kawan yang tak terpisahkan. Jalanan sepi deru jet
pengantar manusia lengang.. sangat lengang. Baru jam sepuluh lewat sepuluh,
suasana daerah saya tak ubahnya kota mati. Malam yang semakin mengelam membuat
jiwa-jiwa yang hidup menjadi dingin dan tenang.
Selepas shalat tarawih tadi saya hanya menghabiskan waktu
dengan membaca buku dan beberapa kali menengok ponsel. Perut yang masih kenyang
setelah berbuka hanya menyisakan sendawa-sendawa kecil. Angin yang berhembus
mendesir membuat darah mengalir melalui aorta dan menuju pusat nadi.
Hingga menyentuh dini hari. Diiringi hujan terasa sangat
tintrim sunyi dan hampa; kali ini hampa mulai menggerayangi diri saya.Ketika perasaan
sepi dan kehampaan mulai menggelayuti saya di susul oleh rasa bosan yg bertubi2
membombardir lini diri ini.
Kawan, disaat2 seperti ini saya tak bisa berbuat banyak. Hanya
menjadi penonton di depan pentas alam semesta di setiap skenario yg ada. Sudah hampir
dua bulan selama pandemi ini saya mengurung diri di dalam rumah, dan benar2
mengurung diri.
Entah karena tak boleh keluar2 juga karena tak ada yang bisa
dilakukan jika keluar, palingan saya keluar hanya beradius 1-5km— itupun hanya
untuk sekedar melepas rasa masam di mulut dan menyulut tembakau bermerk. Terkadang hanya membeli satu batang dan
menghisapnya diatas motor sepanjang deru mesin, hanya melihat2 keadaan sekitar mencari angin segar, sendiri.
Semua serba dibatasi tanpa terkecuali. Bahkan untuk sebuah
rapat sosial ataupun mengadakan beribadah di rumah ibadah.
Ketika kemarin seolah segala sesuatunya memuncak, serba
bebas dan tak terbatas, ketika dunia sedang di puncak kebebasan dan nina bobokan
oleh hal2 berbau kebenaran. Kini, hal itu tiba2 berhenti dan mengalami stagnan hanya
dalam kurun waktu kurang dari setengah dekade. Sungguh miris.
Dan itu membuat saya tersadar bahwasanya segala bentuk
kebersamaan dan kebebasan yang ada ialah sebuah kemewahan, sebuah anugerah alam
semesta. Ketika berkumpul dan bersosialisasi adalah hal2 yg benar2 mewah;saya baru
menyadarinya. Dan kita sering lupa termasuk saya sendiri sering lupa dg nilai2
seperti itu.
Ketika mahluk2 sosial mulai tidak memahami arti dirinya,
alam mulai menggaungkan kembali bahwasanya kita senantiasa mengikuti nilai-nilai
‘ibu’ kita sebagai sosialis yang hidup berdampingan dg mahluk2 alam lainya. tak hanya menjadi individualis yg tertelan layar tipis berpendar pendar.
Saya adalah aktivis sosial di kampung rumah saya, kini saya
merasakan betul dampak dari pembatasan segala unsur pengumpulan massa. Saya sering
mengadakan rapat terbatas dg tetua dan para aktivis lainnya. Dan ketika
berdiskusi secara tatap muka dan melihat wajah2 lainnya saya sangat gembira,
pertemuan2 itu saya maknai lebih. Saya lebih fokus untuk mendengarkan dan
menghargai setiap argumen yang dilemparkan, dan menaruh ponsel saya di depan
saya. Argumen yg dulu diabaikan kini, saya sangat antusias menanggapi maupun
mendengarnya.
Sampai2 saya sangat bergembira dan antusias jika bertemu dan
ngobrol ngalor ngidul dengan teman
atau siapapun, agak lama saya tidak bertemu dg karakter2 yg dulu biasa sy
temui, dan saat ini terpaksa untuk tidak bertemu karena berbentur dg keadaan. Karena
pertemuan walau hanya beberapa menit menjadi sangat bermakna, walau hanya
dengan ngobrol sebentar atau hanya bertegur sapa, itu menjadi bermakna.
Seperti rehat sejenak dari sosial media dan kita dituntut
untuk memulai kehidupan sosial kita dan kembali menjadi jati diri bahwa kita
adalah sosialis, yang tidak terlepas dari segala nilai2 primordialis yg sedari
dulu dijunjung tinggi oleh generasi terdahulu.
Pentingnya bersyukur untuk saat ini sangat diperlukan
menyadari bahwasanya semua nilai sosial yg dulu dianggap biasa saja, kini
menjadi kemewahan tersendiri dan bermakna jika setiap pertemuan kita
memaknainya, hal sangat mewah yang sederhana. Memalingkan wajah dari layar tepat dan mulai kembali kehidupan sosial kita.
Karena pertemuan2 seperti itu adalah sebuah kemewahan, maka
maknailah setiap detik menit bahkan jam segala pertemuan yang ada.
No comments:
Post a Comment