Enzy duduk di meja kopi kecil di
ruang tengah kantornya. Meraih gelas kopinya dihirup perlahan ia termenung
menatap ke luar jendela ruangan di lantai tigapuluh dua ini, lalu lamat-lamat
melihat layar laptopnya, membuat cahayanya berpendar. Ia masih saja teringat
kejadian malam itu. Ia masih teringat ucapanku bertahun-tahun lalu,di Alun-alun
kota pukul sebelas malam.
“apa kau mau mencintaiku?”
Kata-kataku yang membuatnya berubah
mimik mukanya menjadi merah padam, terdiam. Kau mengalihkan tatapan matamu
mengarah luasnya lapangan dihiasi lampu-lampu kecil.
“aku hanya ingin tahu saja?”
“apa kau mulai merokok?” tanyamu,
mengalihkan perhatian.
“ya” jawabku, menaikan kedua alis
ku
“bibirmu jadi merona karenanya”
“apa? Jangan bilang kau ingin
mencium bibirku”
Kau kembali tergelak. Kali ini
tawanya pun berderai.
“kau belum menjawab?”
“yang mana?”
“aku serius nanya tolong jawab”
“aku tak bisa win..” jawabmu. Kau
menghela nafas “ aku belum bisa kasih jawaban sekarang”
Kau diam sejenak, meluruskan
punggung, membuat kedua lenganmu yang menumpu di sandaran punggung menjadi lurus.
Sepasang matamu berlari ke dalam kegelapan malam yang pucat, terpendar-pendar
cahaya lampu jalanan.
Jet-jet pengantar manusia hanya
satu dua yang lewat tetapi riuh rendah suasana saat itu perasaan campur aduk,
dingin, sesaat semua diam.
“ini malam terakhirku di kota
ini, dan kau belum menjawab setelah tiga tahun kita dekat. Kau masih belum
mencintaiku. Baiklah,”
“maafkan aku win”
“aku, selalu memaafkanmu Zy. Tapi
aku tak faham apa yang membuatmu terus-menerus membohongi dirimu dan terus
mengulur waktu. Setelah ini kuantar kau pulang ke rumahmu lagi, lalu aku mau
pamit juga. Tengah malam nanti aku akan berangkat ke ibukota provinsi, untuk bertahun
– tahun kededepan. Aku pindah dinas disana.”
Suara tangismu yang pecah dan
isak yang timbul tenggelam. Seiring semakin malam mengalung dan mengelam,
menyisakan lampu jalanan alun-alun kota yang temaram.
Kau memilih bungkam, tak
menggubrisnya lagi. Sebelum kau antar dengan mobil cressida hitam, kau bangkit dari dudukmu, kau dan aku menghempaskan
pada atas kursi mobil. Perjalanan malam
yang dibungkus sepi, melewati jalan sepi kota ini. Melewati tempat favorit kau
dan aku, dimana setiap melewatinya kau akan berteriak dan terus membicarakanya.
Sesaat, pukul dua belas malam,
aku berdiri didepan pagar rumahmu dan berpelukan denganmu. Kau tetap diam. Kau lalu
melangkah pulang lalu menoleh sejenak dan berbisik, ”Aku pulang, ya.” Katamu.
Senyap.
Aku lalu kembali ke mobil dan
menuju ke bandara kota provinsi. Melewati lagi sudut kota ini sendiri untuk
terakhir kalinya. Membelai lembut setiap kenangan dan cerita denganmu, dimana tulangku
selalu rapuh ketika melihatmu atau sekedar mendengar namamu.
Dengan pikiran masih memburu,
dingin waktu. Menghempaskan bokong ini di kursi 23F. Menatap keluar kelengangan
malam diatas tigapuluh ribu kaki, bayang-bayangmu. Sampai aku lelah memilih
jalan untuk bahagia. Tetapi masih banyak pertanyaan yang memenuhi pikiran ini.
Bila kalian mengira aku hanya pengagum rahasia
pada cerita sebelumnya, sebenarnya aku telah menyatakan perasaan ini kepadanya
sejak bertahun-tahun lalu. Dan hingga kini masih dengan orang yang sama,
perasaan yang sama, dan pertanyaan yang sama.
“apa kau mau mencintaiku?”.
===
Bersambung..
No comments:
Post a Comment