Friday, April 24, 2020

cerpen waton : Serdadu Tempur


halo semuanya
kembali lagi di edisi cerpen waton.. cerita pendek hasil buah pikiran saya.. tapi jangan berharap lebih dengan karya saya ini, karena saya kuraang lebih waton (ngasal).. tapi insyallah bermakna,, jika anda memaknainya.. 😀
 ...yah walaupun tak sebagus Tere Liye atau Pramodya Ananta Toer, lebih baik memulai daripada tidak sama sekali. selamat , membaca. i hope u like it.

                                                                   Serdadu Perang
                                                                  

Suara letusan peledak dan tembakan senapan laras memecah suasana lengang malam itu, para serdadu seperti Pahang berlari dan menembak memuntahkan seluruh isi perut senapan yang ku pegang ini, berpuluh-puluh selongsong peluru berkelontangan.
“majuu!! Serang.. habiskan luluhlantahkan mereka, seolah kau sedang menikmati kue hangat dalam pelukan ibumu!” pekik lantang letnan Untung mengomando seluruh anggotanya untuk terus maju.
BOOM!!! Letusan ranjau terinjak.. desingan peluru malam itu seperti alunan musik melankolis, menimbulkan perasaan resah, sunyi, dan sendu.
“sial! Kenapa mereka tidak menyerah saja..” gumam Pahang pada Santoso
“hey, apa kau disini hanya untuk menyerah?”
“jika aku diberi kesempatan untuk mengumpat didepan komandan mereka aku juga akan merontokkan giginya hingga ia lari terkencing-kencing.. bajingan!”
“hahaha.. sudahlah, kau jangan banyak bicara.. mereka kalah jumlah, selesaikan ini bung!”
Kota tua itu di tahan habis-habisan oleh pemberontak yangterdesak dan mereka terus maju. Meringsek hingga hanya berjarak beberapa meter, baku tembak terus terjadi dan semakin memanas. Serdadu yang terluka dibawa ke belakang barisan untuk mendapatkan pertolongan pertama. Serdadu lainya maju dan menambal sisi lainnya.
Perang ini mulai berkecamuk semenjak pemberontak mengambil alih kekuasaan di negara bagian ini, hanya kami yang tersisa dan kami terus berjuang, bergerilya daerah demi daerah untuk merebut satu persatu kekuasaan yang telah dikuasai pemberontak. Bangunan kota menjadi tempat berlindung, remang-remang cahaya lampu petromak hanya beradius 5 meter pijarnya, selebihnya hanya mengandalkan insting dan arah tembakan saja.
Pahang mengarahkan moncong senapan ke arah mereka, memicingkan mata tajam dan membidik, sepuluh tembakan beruntun membuat suara mengaduh kesakitan di ujung sana, tanda ada satu musuh tertembak.Tak sadar dan sedikit lalai sepersekiandetik darah segar muncrat dari badannya, dada kirinya terkena tembakan. Sialnya Pahang juga terkena tembakan.
“aaaaarrghhhh!! Sial! Keparat..”
“seseorang terkena!! Seseorang terkena!! Medis.. medis!!!” teriak santoso diantara suara tembakan
“kau tak apa Pahang?!”
“aku bisa menahan ini.. tak perlu bantuan medis, mari selesaikan ini dan menunggu bantuan datang” balas Pahang
Petugas medis biasa hanya memberi morfin dan menahan luka agar tak banyak darah tercucur, lebih baik menahan luka ini dan bersisihan dengan kawan lainnya daripada menyerah hanya dengan satu butir peluru bersarang di badanku ini, lalu menunggu kamp medis didirikan setelah ini usai.
Lima belas menit berlalu pemberontak menyerah, dan para serdadu dapat menduduki kota tua ini sesuai perintah dari pusat militer di ibukota provinsi.
Beristirahat sembari menunggu pasukan lain datang dan mengamankan wilayah ini. Tigapuluh menit kami menunggu truk pembawa serdadu lainnya datang, untuk mengamankan dan bertahan di kota tua tersebut, sehingga segala pasokan logistik menuju ke para pemberontak tidak dapat terakses dan mereka akan segera terdesak.
Pintu truk berdebam dibuka lebar-lebar para serdadu berhamburan keluar, semua sibuk di pos masing-masing. Kamp-kamp didirikan untuk membuat pos baru di kota tua tersebut. Ranjau dipasang dan semua pengamanan dipasang oleh beberapa unit lainnya. Dengan cepat semua telah berdiri kokoh.
Pahang berjalan melihat sekitar.. dan tak terasa perih di bagian bahu, dan darah merah bercucuran. Lubang di bahuku tak hentinya mengeluarkan darah.  Lalu terhenti dan duduk di samping Santoso di depan perapian.
“kau butuh air? Santoso”  celetuk Pahang
“ahh tidak.. aku sedang menikmati kedamaian sesaat ini, kemangan batin dan lahir, sebelum badai menerpa lagi, terasa sangat damai bukan.. memang perang dalam sudut pandang tertentu dibutuhkan, selain untuk mencari suatu kebenaran tetapi juga kedamaian.. perang akan selalu ada tak pernah padam”
“ehh.. kenapa kau bicara seperti itu?”
“kau tahu pahang, kita hidup seperti di permainan.. berlari, menembak, dan menang jika menang. Pekan demi pekan kita telah menguasai beberapa wilayah. Selesai merebut sini lanjut melebur ke sisi lain.. perang yang didengungkan memberi kedamaian dan kebenaran juga memiliki sisi gelap. Setelah sisi sini usai, esok kita akan merebut sisi lainnya, sisi lainnya usai kita melanjutkan ke sisi berikutnya, begitu seterusnya. Kita seperti mesin.”
“kupikir kita akan terus seperti ini selama beberapa pekan kedepan, masih beberapa wilayah di tangan para pemberontak itu. Wilayah demi wilayah mereka mulai runtuh, mereka terdesak.. ini akan segera usai..”
BRUGKKKK!! Pahang tak sadarkan diri,
Percakapan kami sesaat setelah penyerbuan dilakukan, Santoso adalah serdadu yang sama dengan Pahang anggota kompi 2 detasemen Gagakbirawa dibawah komando langsung dari pusat militer dan dipimpin oleh Letnan Dua Untung. Dia adalah sahabat karib Pahang, saat ia memasuki pelatihan dasar militer tiga tahun lalu, mereka selalu bersama dan hingga saat ini mendapat misi yang sama.
Pahang terbangun dan mendapati segala perlengkapan medis terpasang dengan disiplin di seluruh badanku,riuh ramai kamp medis pagi itu sangat gaduh. Bangunan kota tua disulap jadi markas pembantu operasi, dan Pahang terbaring dirawat oleh medis.
“ahh.. kau sudah sadarkan diri kopral, syukurlah. Santoso membawamu kemari tadi malam” suara itu memecah suasan gaduh di kamp itu, suara yang lembut dan meneduhkan hati. Wahyuni, perawat militer yang juga kekasih Pahang, merawat Pahang hingga sadar.
“Wahyuni kau rupanya.. aku sangat merindukanmu dan berharap ini segera usai, apa kau baik-baik saja? Selama berberapa pekan aku tak bisa memberi kabar padamu.. maafkan aku”
“aku baik saja, tapi aku sangat mencemaskanmu.. kau bertempur sangat keras, bergerilya pagi, siang, sore.. lalu  kita dipertemukan di kamp medis ini  kau tertembak di bagian bahu, tapi syukurlah kau masih hidup. Aku juga merindukanmu” balas Wahyuni, seraya mengganti perban dan mengganti cairan infus yang sudah mulai habis..
“tapi aku tak bisa berlama-lama disini, aku harus kembali.. kompiku berangkat fajar tadi. Dan aku malah disini tak berdaya” Pahang terduduk dan mencopoti semua yang terpasang di tubuhnya.
“kau masih terlalu lemah, kau mengeluarkan banyak darah tadi malam”
“aku akan berangkat menyusul mereka, maafkan aku wahyuni.. tapi ini sudah menjadi tugasku” ucap Pahang sambil berjalan menuju loker tempat dimana barangnya disimpan.
“tapi..kau bisa saja terbunuh jika menyusul sendiri. Aku takut kau tak kembali..” ucap Wahyuni membuntuti sang kekasih
“dengar, aku tak akan mati di sana.. aku berjanji padamu. Setelah perang usai aku akan menikahimu, itu pasti. kau anugrah terindah ku, aku juga sangat merindukanmu. Tapi aku harus kembali ke barisan” tutur Pahang
Mereka saling bertatap mesra, bak Romeo dan Juliet akan berpisah. Tatapan sendu kedua pasangan ini. Suasana riuh dan gegap gempita namun seakan sunyi. Kedua insan harus kembali berpisah setelah hanya bertemu selama beberapa jam, dan harus berpisah lagi. Wahyuni pun memeluk Pahang sangat erat. Tak terasa matanya mulai meneteskan air mata, air mata cinta.
Setelah itu, Pahang kembali ke kompinya. Ia menyusul perjalanan gerilyanya, maju hingga garis depan sendiri. Tiga jam berjalan bermodal peta gerilya. Dari kejauhan terlihat beberapa rekannya yang sedang beristirahat dan juga Santoso. Pahang lalu menghampiri da kembali ke barisannya.
Suasana Pagi itu terbilang dingin, selepas dari kota tua itu ditaklukan. Kompinya terus bergerilya. Merebut semua sisi dari para pemberontak. Alam negeri ini tak memihak para bedebah itu. Seluruh daratan di distrik ini mulai kembali, para pemberontak terdesak. Hingga pada penghujung pertempuran hidup dan mati mereka.
Pertempuran untuk terakhir kalinya akan dimulai, bertempur di benteng terakhir para pemberontak itu. Di distrik paling utara negeri ini. Kami hanya berjumlah satu kompi kurang lebih seratusan orang. Di benteng itu, ada ratusan pemberontak. Semua pemberontak yang daerahnya telah kami rebut mundur ke daerah lainnya hingga mereka terdesak ke benteng itu.
Benteng itu terletak di delta sungai, tak tau berapa jumlah personil didalamnya seberapa. Kekuatan apa saja tak tahu. Malam tiba seluruh anggota beristirahat di kamp dadakan satu koma lima kilometer dari benteng tersebut. Malam itu sangat sunyi tenang dan wingit. Esok adalah hari terakhir pertempuran yang juga akan menjadi bersejarah bagi satu kompi tersebut. Akankah memenangkan pertempuran atau malah terpukul mundur. Rencana dan strategi sudah matang. Telik sandi memberi informasi dan berbagai kabar bagus sekaligus keuntungan bagi mereka. Saat fajar tiba mereka mulai menyerbu.
“kau siap untuk hari bersejarah ini? Pahang”
“aku selalu siap untuk semua bentuk sejarah.. esok akan terpatri namaku di buku anak sekolahan, Kopral  Dua Pahang pahlawan nasional.. bla.. bla.. bla.. hahahaha”
“kau tak akan masuk, aku yang akan menghiasi semua radio-radio di negeri ini.. Pahang, kau tauu Kopral Dua Santoso. Eh.. kudengar kau akan menikah setelah ini usai?”
“yaa aku akan menikah. Dan kau akan hadir.. dan melihatku berciuman dengan wahyuni, jadi kapan aku bisa melihat kau berciuman di pelaminan.. hahaha”
Santoso hanya senyum kecut lalu menjitak kepala Pahang. Sahabat karib ini selalu bergurau sebelum operasi.

Operasi dimulai. Fajar pun tiba.. semua berbaris sesuai formasi, Pahang dan Santoso berada di garis depan. Letnan Untung mengomando agar tetap senyap dan tenang. Dua puluh menit. Mereka berhasil mengepung benteng. Moncong-moncong senjata terarah ke dalam benteng tersebut.
Jual beli tembakan terjadi cukup lama, kami kalah jumlah dan kekuatan. Mereka memiliki senjata berat altileri dan peluru tajam. kami terdesak, hanya berlindung di parit-parit atau di tempat aman. Berondongan senapan mesin menderau derau tak karuan, desingan peluru terkena besi atau tembok terdengar jelas.
“letnan bagaimana ini?!!” teriak Pahang pada letnan Untung
“entahlah disini tampak rumit, Pahang.. aku sedang memikirkannya. Kau punya granat?”
“tak tau, sepertinya aku masih menyisakan beberapa butir”
“lemparkan tepat saat mereka mengisi peluru, itu bisa memberikan jeda untuk kita maju dan masuk”
“baik, letnan..” ujarku
Sedetik, mereka mengisi ulang senapan mereka. Aku melemparkan dua granat tepat ke arah mereka. BOOOM!! Dalam sekejap mereka berhamburan.
“Majuuuu!!!!” Teriakan letnan Untung mengomando
Seluruh serdadu maju dan mulai memasuki benteng. Termasuk Pahang dan Santoso. Pertarungan jarak dekat, kompi ini jelas diunggulkan. Ini kompi terbaik yang dikirim dari pusat komando dan selama beberapa pekan terakhir mengobrak abrik berpuluh-puluh pos pemberontak seantero negeri.
Satu jam, benteng itu sudah terbalik keadaanya. Darah mngelalir dimana-mana. Tumpes tapis, puluhan pemberontak tergeletak di sana sini. Termasuk juga jasad para pejuang, para serdadu kusuma bangsa yang gugur saat itu. Termasuk Pahang. Kopral Dua Pahang yang gugur saat mengetahui ada bom di sudut benteng tersebut, ia berlari membawa bom tersebut.  Membawanya keluar dari benteng, tapi naas sebelum ia melempar bom tersebut, bom sudah meledak. Dan tubuh sang Kopral berhambur. ia gugur sebagai pahlawan, kusuma bangsa, ksatria muda.
Santoso terpukul atas kejadian tersebut. Ia meraih sepucuk surat di saku baju Pahang, dan menyimpannya, untuk diberikan kepada Wahyuni. Sang kekasih yang dicintai Pahang melebihi siapapun.
Perang telah usai, dan Wahyuni menanti kehadiran sang kekasih. Semua prajurit kompi, berpuluh-puluh batalyon sudah pulang. Kamp-kamp medis dipenuhi oleh serdadu namun ia tak mendapati sang kekasih. Hingga ia bertemu dengan Santoso.
“kau kemana..” gumam Wahyuni,
“maaf.. ada titipan surat untukmu” tatap kesedihan juga dirasakan oleh Santoso,lalu ia meninggalkan wahyuni dengan surat tersebut.
Wahyuni sangat terkejut, membawa kata demi kata surat itu. Surat dari saku baju Pahang, yang sedikit terkena muncratan darah merah. Serangan panik tenggorokannya seperti tercekat tak mampu berkata-kata, udara dari mulut tersumpal di bagian tenggorokan paling bawah, membuatnya sulit bernafas, tetesan demi tetesan air mata seirama dengan tiap kata yang tertulis. Dan juga surat belasungkawa dari pusat komando. Wahyuni ambruk dan tak sadarkan diri.
Dan saat terbangun ia mendapati  kenyataan bahwa Pahang telah tiada, sang kekasih gugur sebagai pahlawan. Terdengar kasak-kusuk, basa-bisik, bahwa sang pahlawan itu sangat berjasa di operasi ini. Namanya selalu terngiang di benak Wahyuni, kenangan demi kenangan tergambar jelas.
Seiring berjalannya waktu berjalan Wahyuni kembali pulih, ia sedikit selangkah lebih maju dari lubang kesedihan yang menghantuinya. Menlanjutkan hidup tanpa sang kekasih. Meraih asa, menggapai cita, menikmati kemerdekaan negerinya. Setelah perang usai semua bahagia dan tersenyum tapi masih ada sedikit kesedihan di hati Wahyuni. Damai dan tentram. Memang benar perang ada untuk suatu kepentingan banyak orang, mencari kebenaran, kebahagiaan, dan juga kedamaian. Teapi perang juga meninggalkan bagian gelap yang tertutup, tak terlihat tetapi ada dan akan terus ada, dan begitulah sabda alam dan hukumnya.







No comments:

Post a Comment